Bisnis.com, JAKARTA — Meskipun menjadi penggerak 60% ekspansi ekonomi dunia pada tahun 2024, beberapa negara di kawasan Asia-Pasifik masih belum siap menghadapi guncangan iklim dan transisi ke energi hijau.
Wakil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Sekretaris Eksekutif conomic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) Armida Salsiah Alisjahbana mengatakan meningkatnya ketidakpastian ekonomi global dan semakin dalamnya risiko iklim menjadi hambatan bagi para pembuat kebijakan fiskal dan moneter.
“Menavigasi lanskap yang terus berkembang ini tidak hanya membutuhkan kebijakan nasional yang baik tetapi juga upaya regional yang terkoordinasi untuk menjaga prospek ekonomi jangka panjang dan mengatasi perubahan iklim,” ujarnya dalam laporan, Kamis (10/4/2025).
Adapun dari 30 negara yang diteliti, terdapat 11 negara diidentifikasi lebih rentan terhadap risiko iklim dari perspektif ekonomi makro. Kesebelas negara tersebut yakni Afghanistan, Kamboja, Republik Islam Iran, Kazakhstan, Laos, Mongolia, Myanmar, Nepal, Tajikistan, Uzbekistan, dan Vietnam.
Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam kemampuan mengatasi masalah di seluruh kawasan di mana beberapa negara telah memobilisasi pendanaan iklim yang cukup besar dan mengadopsi kebijakan hijau.
“Negara lain menghadapi berbagai tantangan, termasuk kendala fiskal, sistem keuangan yang lebih lemah, dan kapasitas pengelolaan keuangan publik yang terbatas,” katanya.
Baca Juga
Dalam laporan tersebut, negara-negara menjalankan kebijakan untuk mengelola berbagai tantangan ekonomi akibat perubahan iklim seperti menyeimbangkan pertumbuhan industri dengan tujuan iklim di Korea Selatan.
Kemudian, upaya Laos mengatasi risiko iklim akibat ketergantungan pada pertanian dan bahan bakar fosil di Kazakhstan.
“Memajukan tindakan kebijakan di negara-negara pesisir seperti Bangladesh dan negara-negara kepulauan kecil seperti Vanuatu yang menghadapi dampak iklim yang parah,” ucapnya.
Meskipun tetap relatif bersemangat dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, pertumbuhan ekonomi rata-rata di negara-negara berkembang di kawasan Asia-Pasifik melambat menjadi 4,8% pada 2024 dari sebelumnya yang mencapai pertumbuhan 5,2% di 2023 dan 5,5% selama lima tahun sebelum pandemi COVID-19.
Dalam kasus negara-negara kurang berkembang, tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata tahun 2024 sebesar 3,7% secara signifikan lebih rendah dari target pertumbuhan PDB 7% per tahun yang ditetapkan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan.
Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Asia dan Pasifik telah melambat secara signifikan sejak krisis keuangan global pada 2008, dengan konvergensi pendapatan yang stagnan dengan negara-negara maju di dunia. Dari tahun 2010 hingga 2024, hanya 19 dari 44 negara berkembang di Asia-Pasifik yang mencapai konvergensi pendapatan meninggalkan 25 negara yang lebih jauh tertinggal.
Untuk menjamin kemakmuran ekonomi jangka panjang, perlu dukungan pemerintah yang proaktif dalam peningkatan ke sektor ekonomi yang lebih produktif dan bernilai tambah tinggi. Kawasan Asia Pasifik juga perlu memanfaatkan daya saingnya yang kuat dalam industri hijau dan rantai nilai sebagai mesin baru pertumbuhan ekonomi.
“Selain itu, merangkul kerja sama ekonomi regional yang inklusif yang melayani aspirasi pembangunan negara maju dan berkembang,” tutur Armida.