Bisnis.com, JAKARTA — Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia terus dilanda banjir besar di berbagai wilayah. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah banjir yang terjadi di Indonesia sejak 2020 hingga 2024 mencapai 6.913 bencana banjir.
Kemudian, dari 1 Januari hingga 17 Maret 2025, Indonesia telah mencatat 641 kejadian bencana yang mayoritas merupakan bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. Peningkatan intensitas curah hujan telah berkontribusi terhadap semakin seringnya intensitas bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Praktisi Hidrologi Universitas Semarang Edy Susilo mengatakan pembangunan permukiman, industri, dan infrastruktur seringkali mengorbankan ruang terbuka hijau dan daerah tangkapan air. Akibatnya, air kehilangan tempat untuk meresap dan mengalir bebas ke permukaan, memicu genangan dan banjir.
“Seringkali hujan deras menjadi kambing hitam, namun penyebab banjir lebih kompleks,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (8/4/2025).
Indonesia sebenarnya telah memiliki regulasi penataan ruang yang kuat seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017. Beleid tersebut mengatur prinsip zero delta Q tentang pembangunan tidak boleh meningkatkan debit limpasan air hujan. Namun dalam praktik, banyak proyek pembangunan masih mengabaikan prinsip ini.
Selain itu, sistem drainase yang tersumbat akibat penumpukan sampah dan kurangnya pemeliharaan juga memperparah kondisi.
Baca Juga
“Perubahan iklim global pun turut memicu intensitas hujan yang lebih ekstrem dan sulit diprediksi, membuat kawasan sangat rentan terhadap banjir,” katanya.
Menurutnya, untuk mengatasi banjir bukan hanyameninggikan tanggul atau memperbesar saluran air, namun dibangun kolam retensi, embung, dan bendungan sebagai cara efektif menampung air hujan.
Selain itu, rain water harvesting (RWH) juga bisa menjadi solusi di mana air hujan yang ditampung dari atap dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga. Hal ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap air tanah dan mengurangi banjir. Kemudian, meresapkan air ke dalam tanah dengan sumur resapan, lubang resapan biopori, dan pipa resapan horisontal.
“Sumur resapan dan lubang resapan biopori sudah banyak dikenal masyarakat dan dipasang di berbagai daerah. Pipa resapan horisontal efektif untuk meresapkan air ke dalam tanah. Pipa resapan horisontal dibuat dari pipa PVC dipasang pada kedalaman maksimal 150 cm. Peresapan oleh pipa resapan horisontal bisa lebih 20 kali peresapan dari sumur resapan,” ucapnya.
Dia menilai pemerintah perlu mendorong pemanfaatan teknologi resapan melalui regulasi dan insentif. Masyarakat pun diharapkan mulai mengubah kebiasaan dari membuang air hujan menjadi menyimpan atau meresapkannya ke dalam tanah.
“Kini saatnya kita mulai mengelola air dengan bijak. Kita perlu membangun kota dan desa yang ramah air, dengan tata ruang yang memperhatikan lingkungan,” tuturnya.