Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Pariwisata tengah memfokuskan diri untuk menjaga dan mendongkrak kebersihan tiap destinasi wisata guna mencapai terwujudnya pariwisata yang berkelanjutan.
Salah satunya dilakukan dengan program Gerakan Wisata Bersih (GWB) sebagai upaya menuju pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan.
Untuk diketahui, sepanjang tahun ini Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menargetkan 4,6% kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan perolehan devisa pariwisata senilai US$19 miliar hingga US$22,1 miliar. Kemenpar juga mimbidik kunjungan wisatawan mencapai 14,6 juta hingga 16 juta jiwa dan sebanyak 1,08 miliar perjalanan wisatawan nusantara. Peringkat Travel & Tourism Development Index ditargetkan di tahun ini mencapai level 22.
Adapum sepanjang tahun lalu, total kunjungan wisatawan mencapai 13,74 juta mengalami kenaikan 18% dari tahun 2023. Total perjalanan wisatawan nusantara mencapai 1 miliar lebih perjalanan naik 22% dari tahun 2023.
Menteri Pariwisata Widiyanti Putri mengatakan tahun ini merupakan momentum penting untuk membangun fondasi pariwisata berkualitas. Pendekatan ini mengedepankan prinsip berkelanjutan dan nilai tambah sebagai bagian dari upaya pengembangan sektor pariwisata.
Menurutnya, pariwisata tidak hanya menjadi sektor strategis yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan tetapi juga menjadi sarana utama dalam memperkenalkan identitas Indonesia di kancah global.
Baca Juga
“Untuk mewujudkan dan mempertahankan quality tourism, kolaborasi lintas unsur pentahelix pariwisata menjadi sangat penting. Kita perlu secara aktif memperbaiki, memulihkan dan memperkuat ekosistem alam, sosial dan budaya di berbagai destinasi serta objek wisata di Tanah Air,” ujarnya dikutip Rabu (19/2/2025).
Kemenpar terus mendorong kegiatan bersih-bersih massal di destinasi wisata, mengedukasi dan mengkampanyekan untuk meningkatkan wisatawan dan masyarakat lokal, penyediaan fasilitas pendukung seperti tempat sampah yang memadai dan ramah lingkungan, serta sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas guna menciptakan solusi yang berkelanjutan.
Kemenpar juga membentuk tim Satuan Tugas (satgas) gerakan wisata bersih yang menyoroti pentingnya sanitasi dan secara berkesinambungan melakukan peninjauan terhadap keberadaan toilet yang bersih sebagai salah satu amenitas utama yang mencerminkan kualitas destinasi wisata.
Program ini diharapkan dapat mendukung peningkatan daya saing pariwisata Indonesia sesuai dengan aspek health and hygiene dalam Travel and Tourism Development Index (TTDI).
“Ini adalah gerakan bersama yang dirancang untuk menciptakan dampak nyata dan jangka panjang bagi lingkungan masyarakat dan daya saing pariwisata Indonesia. Saya percaya gerakan wisata bersih ini merupakan sebuah langkah yang menjawab tantangan besar dalam menjaga kebersihan kelestarian dan keberlanjutan destinasi wisata sehingga dapat kompetitif di tingkat global,” katanya.
Kemenpar juga terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan pihak-pihak yang terlibat di bidang lingkungan untuk menjaga seluruh destinasi wisata tetap bersih dan nyaman untuk dikunjungi wisatawan.
“Kita membutuhkan pariwisata Indonesia untuk naik kelas itu harus bersih, nyaman, indah, dan asri. Tentunya seperti itu, kami juga terus melakukan sosialisasi kepada para pelaku industri pariwisata atau pengelola destinasi pariwisata terkait pentingnya praktik keberlanjutan agar destinasi wisata naik kelas,” tuturnya.
Kementerian sudah menerbitkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Permen-Parekraf) pada 2021 tentang Pedoman Destinasi Wisata yang Berkelanjutan. Beleid tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan baik bagi pemerintah pusat, daerah hingga pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan pembangunan pariwisata selanjutnya.
“Sesuai dengan preferensi pasar yang berkembang ke arah pariwisata berkelanjutan dan pariwisata yang regeneratif. Lingkungan adalah hal penting, karena keindahan dan keasrian destinasi itu adalah modal utama bagi pembangunan pariwisata,” ujar Widiyanti.
Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa menambahkan Kementerian Pariwisata tidak memiliki wewenang untuk memberikan sanksi pada pihak yang merusak lingkungan. Namun, pihaknya terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan maupun Kementerian Investasi/BPKM guna menegakkan prinsip-prinsip keberlanjutan.
“Kita optimis bahwa ke depannya begitu kita akan mampu menciptakan para wisata berkelanjutan dengan terus sosialisasi ke pelaku industri dan masyarakat,” ucapnya.
Dia menekankan pentingnya kebersihan destinasi wisata untuk menciptakan pariwisata berkualitas di Indonesia. Hal ini bertujuan membentuk ekosistem serta kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kebersihan lingkungan khususnya destinasi wisata.
“Salah satu hal yang membuat orang datang ke satu destinasi adalah kebersihan lingkungan dan fasilitas pendukung seperti toilet. Jadi kebersihan itu menjadi komponen yang sangat penting untuk daya saing dan daya tarik wisata,” tuturnya.
Program gerakan wisata bersih akan secara bertahap dilaksanakan di lima destinasi pariwisata super prioritas (DPSP), yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang, serta di tiga greater destination, yaitu Bali, Jakarta, dan Yogyakarta-Solo-Semarang (Joglosemar).
Hal ini bertujuan meningkatkan kualitas dari indeks kinerja pengembangan pariwisata Indonesia (Travel Tourism Development Index/TTDI) versi World Economic Forum (WEF). Pasalnya, meskipun pada 2024 Indonesia berhasil naik dari peringkat 32 ke 22, namun penilaian di kategori health dan hygiene Indonesia masih terbilang rendah.
“Kita memang harus terus meningkatkan kualitas dari daya tarik wisata kita, karena pariwisata ke depan kita sudah bicara dua hal, yaitu quality tourism dan sustainable tourism," terang Ni Luh.
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata Rizki Handayani Mustafa menuturkan pemerintah sedang melakukan reformasi untuk mengembangkan pariwisata dan mewujudkan pariwisata berkelanjutan.
“Pemerintah bisa dibilang sedang restrukturisasi atau reformasi terkait dengan semua sektor, termasuk di dalamnya pariwisata. Kami juga sebenarnya sedang berjuang,” ujarnya.
Pemerintah berupaya memperbaiki regulasi dan pengelolaan pariwisata serta mengatasi persoalan-persoalan terkait kepariwisataan agar sektor pariwisata bisa memberikan kontribusi lebih besar pada pertumbuhan ekonomi nasional. Kementerian Pariwisata berkoordinasi kementerian dan lembaga lain dalam upaya mengembangkan pariwisata dan mewujudkan pariwisata berkelanjutan.
“Pemerintah juga berusaha meningkatkan promosi pariwisata untuk menarik lebih banyak wisatawan dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pariwisata,” kata Rizki.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B. Sukamdani berharap pemerintah lebih memperhatikan sektor pariwisata sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, sektor pariwisata tidak boleh lagi dianggap sebagai aksesori dalam pembangunan melainkan sebagai motor utama perekonomian Indonesia di masa depan. Terlebih, persaingan global di sektor pariwisata semakin ketat dengan negara-negara seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia terus berbenah dan menarik lebih banyak wisatawan.
Hariyadi menilai dukungan penuh dari pemerintah sangat dibutuhkan agar Indonesia mampu bersaing dan mengoptimalkan potensinya. Keberpihakan pemerintah dinilai bisa diwujudkan dalam berbagai aspek, mulai dari insentif bagi pelaku usaha hingga perbaikan infrastruktur. Dengan langkah konkret tersebut, Indonesia diyakini mampu bersaing dengan negara-negara lain dan memaksimalkan potensi pariwisata sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
PEMAHAMAN PARIWISATA BERKELANJUTAN
Di sisi lain, Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari berpendapat perlu dilakukan kesekapatan antara pemerintah dan pelaku usaha terkait pemahaman pariwisatan berkelanjutan. Menurutnya, hal tersebut merupakan jenis pariwisata namun melainkan seperangkat tujuan, target dan indikator yang harus dicapai dan dijalankan.
“Pariwisata berkelanjutan ini pendakatan dalam pengembangan konsep berwisata yang dapat memberikan pengaruh dan dampak jangka panjang baik terhadap lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi untuk saat kini dan masa depan,bagi masyarakat lokal dan pengunjung,” ucapnya kepada Bisnis.
Menurutnya, pariwisata berkelanjutan menjadi upaya menjaga keseimbangan antara lingkungan dan masyarakat lokal dengan pengunjung dan pelaku pariwisata. Lalu, meningkatkan pengaruh dan dampak positif. Selain itu, mengurangi pengaruh dan dampak negatif yang disebabkan oleh pariwisata.
Dia menilai pemerintah harus segera memperbaiki UU Kepariwisataan yang berbasis pada 17 SDG's (Sustainable Development Goals) termasuk jenis usaha pariwisata sesuai dengan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) dan wajib menghitung multiplier effect dari sektor pariwisata.
Pemerintah harus berpihak pada masyarakat lokal agar terjadi keseimbangan antara masyarakat lokal, lingkungan, pengunjung dan pelaku usaha. Pelaku Usaha harus melakukan aktivitasnya berbasis pada pendekatan pengembangan konsep berwisata tersebut serta berbasis pada masyarakat lokal
“Wisata Bersih bukanlah jenis wisata, melainkan prasyarat utama untuk membangun destinasi pariwisata seperti regulasi K3L (Keamanan, Keselamatan, Kebersihan/Kesehatan dan Lingkungan). Tujuan Kepariwisataan kita harus merujuk pada 5 pilar dari UNTourism,” tutur Azril.
BALI HADAPI PERSOALAN SAMPAH
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan krisis pengelolaan sampah yang terjadi di Bali membutuhkan prioritas penanganan segera untuk mencegah dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi, yang merugikan masyarakat Bali.
Dalam jangka pendek, perlu ada solusi untuk mengatasi penuhnya Tempat Penampungan Akhir (TPA) Suwung sehingga tidak mengorbankan kepentingan publik yang lebih luas. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah di Provinsi Bali pada 2024 mencapai 1,2 juta ton. Kota Denpasar menjadi penyumbang terbesar dengan jumlah sampah sekitar 360.000 ton, dengan sampah organik yang berasal dari sisa makanan dan ranting kayu mendominasi mencapai 68,32%.
Dalam kurun waktu 2000-2024, timbulan sampah di Bali naik 30%. Penyebab meningkatnya timbulan sampah di antaranya kurangnya kesadaran pengelolaan sampah di sebagian besar masyarakat, termasuk kenaikan
wisatawan ke Bali.
Selain itu, meski pemerintah kabupaten dan kota memiliki aturan terkait sampah (seperti pemilahan sampah), penegakan aturan dan keterbatasan infrastruktur pengelolaan sampah, serta gaya hidup konsumtif dengan penggunaan kemasan plastik sekali pakai masih menjadi penyumbang meningkatnya volume sampah.
“Kenaikan timbulan sampah, tidak dibarengi dengan kemampuan pengelolaan dan ketersediaan infrastruktur persampahan di Bali, menyebabkan fasilitas ini tidak mampu lagi menampung volume sampah yang terus meningkat,” ujar Fabby.
Menurutnya, penyelesaian masalah sampah memerlukan pendekatan holistik dan terpadu dengan menekankan pada ekonomi sirkuler yaitu penegakan hukum, pembangunan infrastruktur persampahan khususnya TPA, pemberian insentif/disinsentif ekonomi yang mencerminkan biaya pengolahan sampah.
Lalu juga melakukan mobilisasi partisipasi masyarakat untuk mengurangi sampah, dan mengolah sampah organik di sumber atau di tingkat komunitas. Hal ini mencakup dorongan bagi produsen untuk mengurangi penggunaan kemasan plastik. Sementara itu, konsumen didorong untuk mengadopsi gaya hidup yang tidak bergantung pada plastik dan produk plastik sekali pakai lainnya dan melakukan pengurangan serta pemilahan sampah.
Dia menuturkan opsi pengolahan sampah menjadi energi tersedia investasi waste to energy (WtE) sangat mahal dan dapat membebani keuangan pemerintah daerah. Oleh karena itu, mengurangi sampah dari sumbernya dan mengolahnya menjadi solusi yang paling ekonomis.
“Tidak ada satu solusi tunggal yang bisa menyelesaikan masalah sampah di Bali. Dibutuhkan pendekatan yang terpadu dan menyeluruh, melibatkan semua pihak dari masyarakat, pemerintah, hingga industri. Selain itu, perlu pula menanamkan pola pikir circular economy dan tanggung jawab pengelolaan sampah di masyarakat yang memahami bahwa pengolahan sampah di Indonesia berbiaya sangat mahal, mencapai US$100 per ton. Oleh karenanya pengurangan sampah di sumber adalah pilihan yang paling murah,” tutur Fabby.