Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Arah Perdagangan Karbon Indonesia di Tengah Penantian Katalis

Dukungan regulator dan pelaku usaha diperlukan untuk menggairahkan perdagangan karbon Indonesia, mengingat potensi dan prospeknya yang tetap positif
Jumat, 14 Februari 2025 | 11:00
Sisa emisi karbon hasil pembakaran salah satu pembangkit listrik/Bloomberg.
Sisa emisi karbon hasil pembakaran salah satu pembangkit listrik/Bloomberg.

Bisnis.com, JAKARTA — Perdagangan karbon di Indonesia tetap dinilai memiliki prospek positif di tengah serangkaian tantangan pasar. Dukungan regulator dan pelaku usaha menjadi penting untuk menjadikan pasar karbon Indonesia makin menggeliat.

Berdasarkan data IDXCarbon, total volume transaksi di bursa karbon mencapai 1.414.629 ton CO2e sampai periode 11 Februari 2025. Nilai transaksinya telah menyentuh Rp70,85 miliar dengan frekuensi transaksi 204 kali. Setidaknya terdapat 107 pengguna jasa yang terdaftar di IDXCarbon.

Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI) Ignatius Denny Wicaksono mengatakan aktivitas perdagangan di bursa karbon tergolong tumbuh pesat. Prospek pertumbuhan ke depan masih terbuka dengan dorongan sejumlah faktor.

"Peluang terbuka, apalagi jika didukung insentif dan disinsentif," katanya setelah acara Bisnis Indonesia Forum pada Rabu (12/2/2025).

Salah satu insentif dan disinsentif tersebut adalah pajak karbon. Apabila pajak karbon diterapkan di Indonesia, Denny berpandangan bursa karbon bakal memperoleh dorongan.

"Kalau tidak comply, tidak ada pajak yang dikenakan. Padahal [kalau diterapkan] bisa menjadi katalis penting untuk menggairahkan bursa karbon," kata Denny.

Selain itu, peluang datang dari adanya perdagangan luar negeri di bursa karbon Indonesia. Pelaksanaan perdagangan luar negeri memang telah dibuka sejak 20 Januari 2025, dengan realisasi volume transaksi hingga 31 Januari 2025 sebesar 49.815 ton CO2e dan nilai transaksi mencapai Rp4,02 miliar. 

"Ada peluangnya [perdagangan luar negeri di bursa karbon]. Akan tetapi, pasar karbon itu pasar kualitas, jadi tergantung seberapa berkualitas unit karbon itu dan seberapa bisa dipakai unit karbonnya," tutur Denny.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan bursa karbon Indonesia memerlukan peran pemerintah untuk lebih menggeliat. Sebab, produk karbon yang terserap nantinya menjadi kewenangan pemerintah.

"Mulai dari produk karbon, registrasinya, sertifikasinya, surveinya, dan semua dari sisi pasokan. Dari sisi permintaan juga dilakukan pengembangan ekosistemnya," kata Mahendra.

Sejauh ini, menurutnya juga belum ada batas atas emisi maksimum di industri. Alhasil, tidak ada insentif atau disinsentif untuk pengurangan karbon. 

Dewan Energi Nasional (DEN) sependapat dengan pandangan ini. Anggota DEN Satya Widya Yudha mengatakan Indonesia memerlukan insentif dan disinsentif bagi penghasil emisi karbon agar 'terpaksa' menurunkan emisinya. Hal ini dilakukan guna mendukung dekarbonisasi untuk menciptakan ekosistem industri hijau. 

"Ekosistem daripada ekonomi hijau di Indonesia itu belum establish, karena carbon tax belum juga diaplikasikan walaupun itu sudah diputuskan pada 2021, sehingga tidak ada risk atau reward yang bisa diberikan kepada industri apabila mereka kita paksa untuk mengurangi emisinya secara drastis," kata Satya dalam Bisnis Indonesia Forum, Rabu (12/2/2025). 

Menurut dia, perdagangan karbon memiliki potensi yang besar untuk mendukung penurunan emisi. Hal ini tecermin dari keberhasilan Uni Eropa menurunkan emisi industri hingga 47% sejak 2005 melalui Emissions Trading System (ETS).

Diadang Sejumlah Tantangan

Satya tak memungkiri terdapat beberapa tantangan dalam perdagangan karbon. Beberapa di antaranya yaitu harga kredit karbon yang dapat berfluktuasi secara signifikan, hingga aturan dan standar berbeda untuk perdagangan karbon di setiap wilayah dan negara.

Tak hanya itu, diperlukan sistem pemantauan dan verifikasi yang kuat untuk mencegah penipuan dan memastikan integritas pasar karbon. Tantangan lainnya datang dari risiko manipulasi pasar, serta keikutsertaan industri dan perusahaan dalam perdagangan karbon yang masih terbatas.

Dinamika global teranyar turut menentukan arah perdagangan karbon ke depan, terutama dengan kembalinya Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke tampuk kepemimpinan. Keputusannya untuk menarik diri dari komitmen iklim dan genderang perang dagang disebut-sebut bisa menjadi penghambat pasar karbon Asia.

Mengutip Bloomberg, sistem perdagangan emisi di Asia Pasifik baru mencakup 16% dari total gas rumah kaca global, meski berkembang pesat. Permintaan yang lemah dan likuiditas yang rendah membuat harga karbon di kawasan ini masih jauh dibandingkan dengan Eropa.

“Jika kebijakan perdagangan dan tarif Trump memperlambat pertumbuhan ekonomi di kawasan ini, tekanan politik untuk meningkatkan ambisi pengurangan emisi juga dapat melemah,” kata Szymon Mikolajczyk, mitra di Climate Focus, firma penasihat pasar karbon internasional.

Risiko tarif dan perang dagang dapat memberi tekanan terhadap pasar karbon di Asia/Bloomberg
Risiko tarif dan perang dagang dapat memberi tekanan terhadap pasar karbon di Asia/Bloomberg

Analis senior di Bloomberg Intelligence Chia Chen berpandangan harga karbon yang lebih rendah dan adopsi kebijakan yang lebih lambat dapat terjadi di Asia jika tarif Trump membebani perdagangan global.

"Jika AS mengenakan lebih banyak tarif pada barang-barang Asia, akan sulit bagi negara-negara ini untuk menaikkan harga karbon—itu seperti menumpuk tarif di atas tarif," katanya. "Pada akhirnya, ini bisa melumpuhkan ekonomi mereka."

Pemerintah di Asia memang makin bergerak untuk menerapkan harga karbon, sehingga sesuai dengan peraturan global yang lebih ketat, seperti Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM) Uni Eropa.

Penghasil emisi karbon terbesar, China, melalui Kementerian Ekologi dan Lingkungan berencana memperluas skema perdagangan emisinya di luar sektor pembangkit listrik. Perdagangan akan mencakup industri semen, baja, dan aluminium pada 2025.

Pemerintah China juga telah memperkenalkan kebijakan lain, termasuk batas emisi yang lebih ketat bagi pembangkit listrik serta sanksi lebih berat bagi perusahaan yang memalsukan data.

Sementara itu, penghasil emisi terbesar ketiga India melalui Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Perubahan Iklim merilis regulasi terperinci pada Juli untuk pasar di bawah Skema Perdagangan Kredit Karbon.

Skema yang dijadwalkan beroperasi penuh pada 2026 tersebut akan mencakup sembilan sektor, termasuk aluminium, semen, baja, dan petrokimia, dengan rencana ekspansi lebih lanjut.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper