Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah masih menghitung perumusan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025 - 2034 yang konon akan menempatkan pembangkit berbasis energi baru terbarukan hingga 72% dari total kebutuhan pembangkit sebesar 71 gigawatt (GW). Lalu energi hijau apa yang menjadi andalan?
Saat pemaparan kinerja Kementerian ESDM 2024, Senin (3/2/2025), Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tidak banyak mengupas komposisi pembangkit untuk memenuhi kebutuhan listrik hingga 2034. Hanya saja, Ketua Umum Golkar ini meminta publik untuk bersabar.
“Kami concern betul untuk mempergunakan energi baru terbarukan, tapi ada tahapannya dan negara sudah setuju pada 2060, kita net zero emission,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang telah ditetapkan Menteri ESDM pada 29 November 2024 lalu melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 314.K/TL.01/MEM.L/2024 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional.
Beleid setingkat Keputusan Menteri ini, merupakan pemutakhiran dari RUKN 2019-2038 dan merupakan turunan dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang sudah disetujui Komisi VII DPR pada September 2024.
Tercatat, dalam target-target RUKN telah diselaraskan dengan target Presiden Prabowo Subianto terkait pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, juga penetapan dalam KEN. Adapun target pembangkit EBT yang ditetapkan dalam RUKN 2024-2060 sebesar 75,6 GW pada 2035.
Baca Juga
Jika dibandingkan dengan pernyataan Bahlil dalam paparan kinerja Kementerian ESDM 2024, masih ada selisih 24,4 GW antara target RUPTL 2025 - 2034 dan RUKN 2024 - 2060 (target pengembangan pembangkit hingga 2035).
RUKN dirancang untuk mencapai target bauran EBT dalam satuan MTOE sebesar 82% pada tahun 2060, melebihi target KEN sebesar 78%.
Terlepas dari perbedaan data tersebut, tantangan lainnya adalah energi apa yang paling masuk akal dikembangkan. Mengacu laporan dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), tenaga surya menjadi opsi terbaik untuk memastikan target 75,6 GW tercapai lebih cepat dari jadwal.
Dari 45 GW, setidaknya terdapat 16,5 GW proyek tenaga surya prospektif di Indonesia atau lebih dari lima kali lebih tinggi dari yang diuraikan dalam JETP CIPP 3,1 GW, dan 30% lebih tinggi dari target RUKN 2030 12,8 GW.
Katherine Hasan, Analis CREA, mengatakan memprioritaskan proyek-proyek prospektif tersebut akan meningkatkan kapasitas energi terbarukan Indonesia hingga empat kali lipat pada dekade berikutnya, melampaui target yang ditetapkan dalam RUKN pada 2030,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Di sisi lain, untuk energi angin, terdapat selisih yang harus diisi, mengingat proyek prospektif yang tercatat oleh Global Energy Monitor (GEM) hanya 2,5 GW atau lebih rendah dari kapasitas yang ditargetkan pada 2030 dalam RUKN 4,8 GW.
Kesenjangan antara potensi tenaga angin dan penerapan yang optimal dari segi biaya, bahkan lebih besar dan mendesak. Untuk itu, Indonesia perlu lebih banyak upaya dalam pengembangan tenaga angin dan menciptakan iklim investasi yang dapat menarik pembiayaan yang dibutuhkan.
“Dengan memetakan proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin mana yang secara realistis dapat dilaksanakan sebelum 2030, Indonesia akan melampaui target yang saat ini dijabarkan dalam RUKN,” tutur Katherine.
Menilik pengalaman Vietnam dan China, Indonesia masih punya waktu untuk mengupayakan proyek energi surya lebih besar sebelum 2030-2035.
CREA juga menilai, porsi energi fosil di RUKN masih signifikan. Tercatat, RUKN 2024-2060 menggariskan produksi listrik dari pembangkit listrik berbasis batu bara sebanyak 41% dan gas sebanyak 17%, untuk memenuhi permintaan energi sebanyak 1,140 TWh pada 2040 dan malah hanya 36% dari sumber energi terbarukan.
Hingga 2060 pun, porsi energi terbarukan ditargetkan mencapai 50%, sedangkan sisanya dari nuklir, PLTU co-firing biomassa dan pembangkit listrik tenaga gas, yang keduanya dilengkapi teknologi penangkapan karbon (CCS).