Bisnis.com, JAKARTA — Harga kredit karbon berisiko makin tertekan pada 2025 di tengah ancaman tarif Presiden Donald Trump terhadap mitra dagang Amerika Serikat seperti Uni Eropa, China, dan Korea Selatan.
Analis Bloomberg Intelligence Chia Chen dan Henik Fung dalam risetnya menyebutkan manuver protektif Trump dapat memangkas perdagangan global dan permintaan bahan bakar fosil. Hal tersebut bakal berdampak pada berkurangnya permintaan kredit karbon.
Dalam skenario ini, Chen dan Fung mengestimasi harga karbon di pasar Eropa bisa terkeren turun di bawah konsensus 2025 yang dipatok di level US$77,25 per ton.
Risiko penurunan harga ini makin mempersuram prospek perdagangan karbon global. Performa kredit karbon tercatat berada di bawah aset investasi lain seperti emas, dolar AS dan minyak, dengan koreksi indeks karbon S&P mencapai 9,3% sepanjang 2024.
Aktivitas industri yang lebih lemah dan permintaan lesu komoditas energi menjadi faktor utama pergerakan harga tersebut.
“Kebijakan ‘America First’ yang diusung Trump mungkin bakal membawa tekanan ekonomi dan menyeret turun harga karbon yang lebih dalam di Uni Eropa, China dan Korea Selatan pada 2025, mengingat kedekatan relasi dagang dengan Amerika Serikat,” tulis Chen dan Fung.
Baca Juga
Sejauh ini, pasar karbon yang telah beroperasi di berbagai negara masih terfragmentasi dan belum terhubung. Jika diakumulasi, volume kredit karbon yang diperdagangkan merepresentasikan 24% emisi global pada 2024 berdasarkan laporan IMF.
“Harga karbon di pasar luar Uni Eropa juga cenderung jauh di bawah rentang ideal untuk mencegah kenaikan suhu global 2 derajat celsius, yakni US$50 sampai US$100 per ton,” lanjut riset Bloomberg Intelligence.
Adapun harga karbon di pasar Eropa ditutup di harga 73 euro per ton per 31 Desember 2024, turun 6,7% dibandingkan dengan posisi awal tahun.
Para pedagang cenderung membatasi eksposur, sejalan dengan makin berkurangnya kinerja industri Eropa dan pemulihan ekonomi China yang lambat.
Dari sisi pasokan, rencana Uni Eropa mempercepat lelang izin karbon untuk periode 2027-2030 sebelum 2026 diperkirakan dapat menekan harga pada tahun ini. Percepatan lelang ini dimaksudkan untuk menghimpun 20 miliar euro yang bakal dipakai untuk mendanai transisi energi dan mengurangi ketergantungan terhadap Rusia.
“Kami memperkirakan harga rata-rata karbon Eropa akan berada di bawah estimasi konsensus pasar sebesar US$77,25 per ton selama 2025,” tulis Bloomberg Intelligence.
Dari pasar Asia, harga karbon di Korea Selatan merefleksikan perekonomian negara tersebut karena ekspor produk minyak bumi, semikonduktor, dan otomotif. Sampai akhir 2024, harga bertengger di 9.490 won per ton, tak banyak berubah dari posisi awal tahun.
“Harga yang stagnan mengindikasikan permintaan bahan bakar fosil di Korea Selatan berada di bawah ekspektasi, sekaligus menandai risiko ekspor Korea Selatan dan pertumbuhan global.
China yang merupakan penghasil emisi karbon terbesar di dunia mencatatkan harga karbon di level 97,49 yuan per ton pada akhir 2024, naik 26,9% dari 76,81 yuan per ton pada awal 2024.
“Harga karbon China bisa turun seiring dengan makin luasnya sektor yang dijangkau pasar karbon,” tulis Chen dan Fung.
Sejauh ini, pasar karbon China hanya menjangkau sektor ketenagalistrikan. Namun otoritas China berencana memasukkan sektor semen, baja, dan aluminum pada tahun ini.
Selama proses ekspansi pasar karbon, pasokan dapat tumbuh secara tidak proporsional dibandingkan dengan permintaan untuk menjaga harga tetap terjangkau, serta mencegah kenaikan beban signifikan bagi perusahaan yang baru mematuhi regulasi.
Sementara itu, konsumsi energi China yang lambat di tengah tantangan ekonomi yang lebih luas juga dapat menekan harga karbon dalam jangka pendek. Namun, harga jangka panjang dapat memasuki tren kenaikan struktural karena Beijing menargetkan pengurangan emisi lebih lanjut untuk mencapai net-zero pada 2060.