Bisnis.com, JAKARTA — Emiten energi baru terbarukan (EBT) menjadi buruan lembaga pengelola investasi atau hedge fund asing, termasuk saham maupun green bond PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO).
Berdasarkan data, PT Pertamina Power Indonesia tercatat sebagai pemegang saham terbesar emiten panas bumi PGEO dengan kepemilikan 28,56 miliar lembar saham atau setara kepemilikan 69,01%.
Pemegang saham kedua terbesar adalah Masdar Indonesia Solar Holdings RSC Limited sebanyak 6,2 miliar lembar saham (15%), dan PT Pertamina Pedeve Indonesia sebanyak 2,47 miliar lembar (5,98%). Selebihnya adalah publik sebanyak 4,14 miliar lembar (10%).
Sementara itu, mengacu data Bloomberg, Senin (5/2/2024), Storebrand Fonder AB, lembaga investasi berlokasi di Swedia tercatat mengempit 14,23 juta lembar saham PGEO sejak Januari 2024.
Nilai investasi Storebrand Fonder itu setara Rp17,28 miliar, dengan asumsi harga saham PGEO pada Selasa (6/2/2024) pukul 14.00 WIB di level Rp1.215 per saham.
Berikutnya ada BlackRock Inc yang menggenggam 6,1 juta lembar saham PGEO, Harvest Global Investments Ltd (5,7 juta lembar saham), IQAM Invest GmbH (5,26 juta lembar saham), dan hedge fund lainnya.
Baca Juga
Pertamina Geothermal Energy, emiten EBT terbesar kesepuluh dunia dengan kapitalisasi pasar Rp50,50 triliun, Selasa (6/2/2024), yang melantai (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia pada 24 Februari 2023, juga sempat menerbitkan obligasi hijau atau green bond pada 27 April 2023.
PGEO menerbitkan obligasi global hijau senilai US$400 juta atau setara Rp5,86 triliun (asumsi kurs BI pada 28 April 2023 Rp14.650 per dolar AS).
Kala itu, Pertamina Geothermal berencana untuk menggunakan dana dari green bond tersebut untuk tersebut digunakan perseroan untuk membiayai kembali (refinancing) proyek-proyek pengembangan sumber daya geothermal yang telah dilakukan guna menyediakan akses ke energi bersih dan ramah lingkungan yang andal dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia.
Penggunaan dana untuk refinancing itu, menurut manajemen, sudah sesuai dengan Eligibility Criteria yang telah ditetapkan dalam Green Financing Framework PGE. Framework ini sudah selaras dengan Green Bonds Principles 2021, Green Loan Principles 2021, dan ASEAN Green Bonds Standards 2018.
Green bond PGE menjadi bond premium di secondary market yang tercatat pada Singapore Exchange Securities Trading Limited (SGX-ST) atau Bursa Efek di Singapura. Bunga yang didapatkan green bond PGE pun sangat kompetitif, yakni sebesar 5,15%, di mana persentase tersebut menunjukkan kepercayaan investor terhadap prospek bisnis PGEO. Adapun, jatuh tempo green bond tersebut pada 27 April 2028.
Ketika itu, penerbitan green bond PGEO berhasil mencatatkan kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga 8,25 kali atau senilai US$3,3 miliar.
Direktur Keuangan Pertamina Geothermal Energy Nelwin Aldriansyah, kala itu, mengatakan secara fundamental PGEO sudah memiliki dana yang kuat untuk tahapan awal pengembangan bisnis, terutama dalam hal pencapaian target tambahan kapasitas terpasang sebesar 600 MW dalam 5 tahun kedepan.
Bekal mendapatkan green bond PGEO ditopang oleh status positif dari dua lembaga pemeringkat kredit internasional, di mana dari Moody's rating, perseroan berhasil mendapatkan peringkat Baa3 (Stable) dan BBB- (Stable) dari Fitch Rating.
BlackRock hingga JPMorgan Borong Green Bond Pertamina Geothermal
Sementara itu, terkait dengan pemegang obligasi hijau (green bond) Pertamina Geothermal Energy, Bloomberg mencatat sejumlah hedge fund asing.
Adapun, pemegang green bond PGEO terbesar adalah Fidelity International Ltd. (FIL) dengan menggenggam obligasi senilai US$21,91 juta atau setara Rp344,05 miliar (asumsi kurs Jisdor BI per 5 Februari 2024 Rp15.705 per dolar AS). FIL Ltd. menggenggam obligasi hijau PGEO sejak Desember 2023.
Terbaru, berdasarkan data Bloomberg, BlackRock Inc membeli obligasi hijau PGEO senilai US$16,24 juta pada Jumat (2/2/2024). Nilai investasi BlackRock tersebut kira-kira senilai Rp255,04 miliar.
Keduanya, baik BlackRock maupun FIL Ltd tercatat sebagai pemegang terbesar obligasi hijau PGEO.
Adapun, pemegang green bond Pertamina Geothermal Energy lainnya, yaitu FMR LLC sebanyak US$7,09 juta, Nordea Bank Abp (US$7,02 juta), JPMorgan Chase & Co (US$5,61 juta), Deutsche Bank AG (US$5 juta), Goldman Schs Group Inc (US$4,51 juta), Credit Sagricole Group (US$3,87 juta), Mitsubishi UFJ Financial Group (US$3,6 juta), dan Neuflize OBC AassetManagement SA (US$3,41 juta).
Setidaknya ada sekitar 103 institusi yang mengempit obligasi hijau Pertamina Geothermal Energy, yang di pengujung Januari 2024 masuk dalam jajaran saham elite indeks LQ45.
Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2023, PGEO membukukan pendapatan usaha sebesar US$308,92 juta atau setara Rp4,78 triliun (Kurs Jisdor Rp15.478 per dolar AS) sepanjang kuartal III/2023.
Pendapatan tersebut naik 7,49% dibandingkan dengan periode sebelumnya yang tercatat sebesar US$287,39 juta. Pendapatan tersebut ditopang oleh penjualan uap dan listrik kepada pihak berelasi yaitu PT Indonesia Power dari sumur Kamojang US$50,17 juta.
Selain itu, pendapatan juga ditopang oleh penjualan ke PLN yang bersumber dari lima sumur yaitu Ulubelu, Lahendonh, Kamojang, Lumut Balai, dan Karaha senilai total US$242,45 juta. PGEO juga berhasil membukukan penjualan carbon credit US$732 ribu.
Adapun, laba bersih emiten terbarukan itu, pada periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas induk sebesar US$133,50 juta atau setara Rp2,06 triliun, naik 19,81% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu US$111,43 juta.
Sementara itu, liabilitas perseroan tercatat turun menjadi US$966,88 juta dibandingkan dengan akhir 2022 sebesar US$1,21 miliar, sedangkan ekuitas naik menjadi US$1,93 miliar dibandingkan dengan Desember 2022 sebesar US$1,25 miliar.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.