Bisnis.com, JAKARTA – Komitmen Presiden Prabowo Subianto mencapai 100% energi terbarukan pada 2035 memerlukan pembiayaan yang besar dan implementasi kebijakan dari kementerian kunci, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Keuangan.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain) Tata Mustasya mengatakan, dengan target RUPTL 2025-2034, pemerintah harus membangun pembangkit energi terbarukan dengan kecepatan 4,5 kali lipat pada 2025-2029 dan 11 kali di 2030-2034 dibandingkan kecepatan pembangunan pembangkit energi terbarukan saat ini.
Alasan yang sering dikemukakan pemerintah mengapa pengembangan energi terbarukan berjalan lambat adalah minimnya pendanaan untuk energi terbarukan dibandingkan untuk energi fosil.
“Kami telah menghitung potensi pendanaan yang bisa dipakai untuk percepatan pembangunan energi terbarukan, yakni dari penambahan pungutan produksi batu bara ditambah investasi dari China, bisa membiayai minimal Rp819,6 triliun, untuk pembiayaan 10 tahun RUPTL,” ujar Tata dalam keterangan tertulis, Senin (14/7/2025).
Merujuk rencana kelistrikan nasional terbaru atau RUPTL 2025-2034, target penambahan sumber listrik dari energi terbarukan cukup masif.
Porsi energi terbarukan ditargetkan mencapai 61%, sementara pembangkit listrik berbahan bakar fosil, termasuk di dalamnya batu bara dan gas, sebesar 24%, dalam sepuluh tahun ke depan.
Baca Juga
Menurut Tata, tantangan terbesar untuk mencapai komitmen Presiden Prabowo untuk 100% penggunaan energi terbarukan adalah meminimalkan dan membatalkan beberapa pembangunan pembangkit fosil (batu bara gas) di dalam RUPTL 2025-2034, memensiunkan dini PLTU batu bara yang ada, dan secara masif membangun pembangkit energi terbarukan.
Merujuk publikasi terbaru Sustain, perhitungan dengan menggunakan beberapa skenario, penambahan pungutan produksi batu bara bisa menghasilkan total pendanaan hingga Rp675,6 triliun untuk RUPTL 2025-2034.
Sementara itu, dari pembiayaan bilateral khususnya China, di mana Indonesia adalah penerima dana terbesar dalam skema investasi BRI, untuk sektor energi berpotensi menghasilkan dana Rp144 triliun dalam periode yang sama.
Artinya, dari penambahan pungutan pajak batu bara dan pendanaan China di sektor energi dengan perhitungan paling konservatif bisa menyumbang hingga Rp819,6 triliun.
Tambahan pendanaan ini dapat dialokasikan untuk membiayai 77% pembangunan pembangkit energi terbarukan swasta, jaringan transmisi, dan distribusi, dalam RUPTL selama masa Pemerintahan Presiden Prabowo hingga 2029 mendatang.
Tata menyebutkan, kedua sumber pembiayaan tersebut tidak bisa menutup seluruh kebutuhan untuk memenuhi komitmen presiden. Pemerintah juga harus melakukan reformasi kebijakan di sektor energi dan fiskal untuk mengalihkan pembiayaan ke investasi energi terbarukan di Indonesia, termasuk pembiayaan dari dalam negeri dan investasi asing.
Pasalnya, selama ini investasi ke energi terbarukan masih kalah jauh dengan investasi ke industri fosil. Catatan IEEFA, Indonesia hanya bisa mendapatkan US$1,5 miliar untuk energi terbarukan pada 2023. Padahal di dokumen RUPTL, target pendanaan untuk energi terbarukan perlu US$105,2 miliar atau Rp1.682,4 triliun.
“Danantara bisa mengelola dua sumber pendanaan ini untuk menggunakan langsung kepada proyek-proyek pengembangan energi terbarukan yang tercantum dalam RUPTL,” tegas Tata.