Bisnis.com, JAKARTA — Traktat internasional tentang laut lepas yang berfokus pada konservasi dan praktik perikanan berkelanjutan di wilayah laut di luar yurisdiksi negara berpeluang mulai berlaku pada awal 2026. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa syarat ratifikasi sebanyak 60 negara kemungkinan besar akan tercapai tahun ini.
Berbicara dalam Konferensi Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOC) di Nice, Macron menyampaikan bahwa 55 negara telah meratifikasi traktat tersebut. Sekitar 15 negara sedang dalam proses ratifikasi dengan tanggal pasti dan 15 negara lainnya akan menyusul sebelum akhir tahun. Dengan demikian, target 60 ratifikasi dapat dicapai.
“Ini berarti traktat ini akan mulai berlaku pada 1 Januari tahun depan. Artinya, kita akhirnya akan memiliki kerangka kerja internasional untuk mengatur dan mengelola laut lepas,” ujar Macron, dikutip dari Reuters, Selasa (10/6/2025).
Traktat Laut Lepas (High Seas Treaty) yang diadopsi pada 2023 memungkinkan negara-negara untuk membentuk taman laut di perairan internasional. Kawasan perairan internasional mencakup hampir dua pertiga luas lautan dan selama ini sebagian besar belum diatur. Diperkirakan hanya 1% dari wilayah laut lepas yang terlindungi.
Traktat ini akan berlaku 120 hari setelah 60 negara meratifikasinya. Aturan tersebut akan menjadi kerangka hukum global pertama yang mengikat secara hukum untuk melindungi keanekaragaman hayati laut di luar yurisdiksi nasional.
Situs highseasalliance.org mencatat bahwa Uni Eropa dan enam negara anggotanya telah menyetorkan ratifikasi di PBB, sehingga jumlah total negara peratifikasi mencapai 28 sampai akhir Mei 2025.
Baca Juga
Pada pembukaan UNOC3 di Nice, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk segera meratifikasi traktat ini. Guterres mengingatkan bahwa penangkapan ikan ilegal, polusi plastik, dan kenaikan suhu laut mengancam ekosistem yang rapuh serta kehidupan manusia yang bergantung padanya.
“Laut adalah sumber daya bersama yang paling penting. Namun kita telah mengecewakannya,” ujar Guterres, seraya menyebut stok ikan yang menyusut, kenaikan permukaan laut, dan pengasaman laut.
Laut juga berperan penting sebagai penyangga krisis iklim dengan menyerap sekitar 30% emisi karbon dioksida global. Namun dengan meningkatnya suhu laut, ekosistem laut justru rusak dan kapasitasnya untuk menyerap karbon makin terancam.
Dorongan bagi negara-negara untuk mengubah janji menjadi perlindungan nyata datang di tengah keputusan Presiden Donald Trump menarik Amerika Serikat dari proyek-proyek iklim dan melemahnya komitmen hijau di sejumlah pemerintahan Eropa demi menopang ekonomi yang lesu dan menghadapi tekanan politik domestik.
Amerika Serikat hingga kini belum meratifikasi traktat tersebut dan tidak akan melakukannya selama konferensi berlangsung, ungkap Rebecca Hubbard, direktur The High Seas Alliance.
“Jika mereka tidak meratifikasi, maka mereka tidak terikat oleh traktat ini,” ujarnya. “Implementasi memang akan memakan waktu bertahun-tahun, tetapi yang penting kita mulai sekarang dan absennya AS tidak akan menghalangi upaya ini.”
Para ahli kelautan juga memanfaatkan konferensi ini untuk mendorong investasi di ekonomi laut yang berkelanjutan, sektor yang selama ini kesulitan menarik komitmen pendanaan besar.
Dalam pertemuan dua hari antara bankir dan investor di Monako akhir pekan lalu, para filantropis, investor swasta, dan bank publik berkomitmen sebesar 8,7 miliar euro selama lima tahun untuk mendukung ekonomi biru yang regeneratif dan berkelanjutan.
PBB mencatat bahwa investasi global untuk kesehatan laut hanya mencapai US$10 miliar selama 2015–2019, jauh di bawah kebutuhan tahunan sebesar US$175 miliar.
Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, PBB pada Minggu lalu mengumumkan dimulainya perancangan fasilitas pembiayaan baru yang akan diluncurkan pada 2028. Fasilitas ini bertujuan membuka akses miliaran dolar guna memulihkan kesehatan laut dengan menggerakkan berbagai sumber modal baru dan beragam.