Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup akan memberikan sanksi kepada perusahaan yang terbukti tak tangani serius limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Direktur Pengelolaan B3 Kementerian Lingkungan Hidup Haruki Agustina mengatakan perusahaan diminta membayar biaya pemulihan lingkungan sesuai asas pencemar membayar (polluter pays principle). Adapun pengelolaan lingkungan hidup termasuk terkait pencemaran sudah diperkuat dengan ketentuan yang berada di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Dalam konteks pengelolaan B3, KLH menerapkan polluter pays principle. Artinya apa, di Undang-Undang 32/2009 dijamin semua kegiatan dari hulu ke hilir harus memenuhi semua ketentuan yang berlaku," ujarnya dilansir Antara, Selasa (27/5/2025).
Adapun dalam UU tersebut dan aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3 sudah terdapat ketentuan yang jelas mengenai penanganan B3 mulai dari produksi, proses pemindahannya sampai pengemasannya.
"Pengelolaan bahan kimia menjadi sangat penting karena tadi mempunyai potensi bahaya, dengan ada beberapa yang sudah dilarang. Kami perlu berkoordinasi, bekerja sama yang baik dalam konteks melakukan pemantauan dan pengawasan," katanya.
Dia meminta sektor industri untuk melakukan tata kelola pengelolaan B3 dengan baik untuk menghindari potensi pencemaran. Pemerintah daerah diminta melakukan pengawasan dan koordinasi dengan Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup yang berada di wilayah masing-masing.
Baca Juga
Pengawasan dan pemantauan diperlukan mengingat daftar bahan kimia dan B3 terus diperbarui seiring dengan perkembangan penelitian mengenai dampaknya terhadap ekosistem, lingkungan hidup dan kesehatan manusia.
KLH terus melakukan inventarisasi senyawa B3 yang sudah dilarang namun penggunaannya masih kerap ditemukan di sejumlah sektor, termasuk bifenil poliklorinasi (PCB) dan merkuri. Pemerintah terus memperbaharui jenis senyawa dalam kategori B3 yang masuk dalam daftar larangan penggunaan di Indonesia karena dampaknya kepada kesehatan lingkungan dan manusia.
"Contohnya seperti PCB dan merkuri, PCB ini sudah dilarang. Artinya, kami sekarang sedang melakukan inventarisasi terhadap PCB yang ada di sektor-sektor, contohnya di sektor migas," ujarnya.
Dia menyebut bahwa PCB masih digunakan secara khusus di sektor migas dalam kegiatan eksplorasi terutama dalam peralatan listrik yang digunakan dalam pengeboran minyak. Secara global PCB sendiri, berdasarkan Konvensi Stockholm untuk polutan organik persisten (POPs), ditargetkan sudah tidak digunakan pada tahun ini.
Untuk Indonesia, PCB ditargetkan untuk proses penghapusan pada 2028 terutama di sektor kelistrikan. KLH juga menargetkan untuk segera menghapus penggunaan merkuri di Indonesia, yang kerap digunakan di pertambangan emas skala kecil, sektor kesehatan, energi dan manufaktur. Ditargetkan pengurangan untuk sektor manufaktur mencapai 50% dan 33,2% untuk energi pada 2030. Dalam pertambangan emas skala kecil target penghapusan total penggunaannya pada tahun ini dan bidang kesehatan pada 2020 lalu.
"Kalau yang besar sudah tidak boleh, dilarang, kalau tidak kena sanksi hukum. Maka yang pertambangan emas skala kecil ini menjadi PR besar, saya minta teman-teman DLH untuk bisa membantu pengawasan. Saya minta pemerintah daerah agar memuat rencana aksi daerah untuk memastikan penghapusan penggunaan merkuri, terutama di pertambangan emas skala kecil. Data KLH memperlihatkan sudah ada 15 provinsi dan 13 kabupaten/kota yang baru melakukan langkah tersebut," katanya.