Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Studi Cambridge: Minim Insentif, Investor Berisiko Rugi dari Investasi Berkelanjutan

Studi dari Universitas Cambridge menunjukkan bahwa investor ESG harus menyiapkan modal investasi lebih besar daripada investasi yang tidak berkelanjutan
Layar menunjukkan pergerakan harga saham di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (27/4/2025)./JIBI/Bisnis/Abdurachman
Layar menunjukkan pergerakan harga saham di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (27/4/2025)./JIBI/Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Studi dari Universitas Cambridge mengungkap bahwa para investor cenderung tidak memiliki insentif finansial yang cukup untuk mencapai target berkelanjutan. Kondisi ini membuat risiko kerugian mereka lebih besar ketika terjadi perubahan sentimen pasar.

Meskipun berbagai upaya telah ditempuh selama bertahun-tahun untuk membuat investasi berbasis lingkungan dan sosial (sustainable investing) lebih menarik secara finansial, sejauh ini belum ada struktur yang cukup untuk mendorong bank dan manajer aset mengalokasikan modal dengan cara yang dapat melindungi planet dan penghuninya.

Hal ini diungkapkan oleh para peneliti di Centre for Sustainable Finance, University of Cambridge Institute for Sustainability Leadership (CISL) dalam sebuah studi yang diterbitkan pada Selasa.

“Saat ini, sistem keuangan tidak memberikan insentif untuk mempertimbangkan keberlanjutan dalam pengambilan keputusan finansial,” kata Direktur CISL Nina Seega dan Kepala Perubahan Sistem CISL Eliot Whittington dalam laporan tersebut, dikutip dari Bloomberg, Selasa (13/5/2025).

Mereka menyoroti minimnya beban modal pada aktivitas yang tidak berkelanjutan dan kurangnya insentif untuk keluar dari aset berisiko.

Di sisi lain, alokasi modal pada aktivitas yang merusak lingkungan justru menghasilkan lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan aktivitas berkelanjutan. Akibatnya, pasar gagal memberikan sinyal harga yang memadai terkait risiko nyata yang akan datang. Para akademisi juga menyebut ada asumsi bahwa para pelaku pasar akan dapat keluar sekaligus jika sentimen pasar berubah, padahal krisis keuangan sebelumnya telah membuktikan bahwa hal itu tidak benar.

Peringatan ini muncul ketika prinsip-prinsip keberlanjutan seperti environmental, social and governance (ESG) dan diversity, equity and inclusion (DEI) mendapat banyak serangan dan kritik di Amerika Serikat. Kurangnya imbal hasil (return) finansial dari investasi ESG dinilai sebagai bukti bahwa strategi ini mengabaikan kepentingan fidusia.

Investasi ESG yang sempat mengalami lonjakan popularitas selama pandemi, kini justru kesulitan pulih seiring dengan kenaikan suku bunga dan gangguan rantai pasokan yang memperlambat kemajuan infrastruktur hijau.

Akibatnya, tema ini dengan cepat kehilangan minat investor. Pada April, Morningstar Inc. melaporkan bahwa dana ESG mengalami arus keluar (outflow) terburuk sepanjang sejarah pada kuartal I/2025.

Sentimen anti-ESG meningkat seiring dengan kenaikan suhu global yang diperkirakan melampaui ambang batas 1,5°C. Dampak nyata dari pemanasan global mulai terlihat di industri asuransi.

Sebagai contoh, Swiss Re Institute memperkirakan bahwa kerugian yang diasuransikan pada tahun ini bisa mencapai US$145 miliar, jauh di atas rata-rata 10 tahun terakhir imbas dari meningkatkan klaim kerugian akibat bencana terkait iklim.

Menurut Bloomberg Intelligence, panas ekstrem akibat perubahan iklim memaksa berbagai industri untuk beradaptasi. Jika tidak ada penyesuaian, kerugian produktivitas tenaga kerja akibat panas bisa mencapai US$500 miliar pada 2050, dengan sektor pertanian dan konstruksi yang paling terdampak. Industri pariwisata juga mengalami pergeseran musiman, begitu pula sektor pakaian. Bahkan pusat data ikut terancam.

Menurut laporan CISL, ada risiko substansial imbas dari repricing pasar yang disruptif. Kondisi ini mencerminkan bukti yang nyata dari perubahan iklim. Pada saat yang sama, investor yang mempertimbangkan perubahan iklim justru berpeluang membuka potensi ekonomi hijau senilai US$10,3 triliun.

“Sektor keuangan perlu berubah, bukan hanya untuk menghindari risiko substansial ini, tetapi juga untuk memetik peluang dari adanya transisi tersebut,” tulis para peneliti CISL.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper