Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ledakan AI Ancam Target Penurunan Emisi Global

Emisi karbon global diperkirakan turun 13% pada 2035, tetapi ekspansi pusat data AI berisiko menghambat penurunan ini
Adopsi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang meluas mengerek kebutuhan pusat data. Ilustrasi Data Center - Dok. Telkom.
Adopsi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang meluas mengerek kebutuhan pusat data. Ilustrasi Data Center - Dok. Telkom.

Bisnis.com, JAKARTA — Adopsi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) secara masif mengancam target penurunan emisi global. Tingkat emisil sempat digadang-gadang mencapai puncaknya pada 2024, tetapi penurunannya diestimasi melambat dalam 10 tahun mendatang karena ekspansi pusat data (data center) pendukung AI yang masih bergantung pada bahan bakar fosil, menurut laporan New Energy Outlook terbaru dari BloombergNEF.

Meski energi terbarukan diestimasi menopang lebih dari 50% kapasitas listrik tambahan untuk mendukung AI hingga 2035, hampir dua pertiga dari peningkatan pembangkitan listrik kumulatif justru berasal dari batu bara dan gas. Hal ini karena masa operasi pembangkit batu bara maupun gas berpotensi lebih panjang karena kebutuhan energi yang tinggi dari pusat data.

BloombergNEF mengestimasi bahwa permintaan listrik global melonjak di tengah penggunaan AI dan perluasan jaringan pusat data. Untuk memenuhi kebutuhan ini, beberapa perusahaan mulai beralih ke tenaga nuklir, sementara lainnya melirik gas alam sebagai sumber energi.

“Lonjakan ini mendorong perusahaan teknologi untuk mengamankan pasokan listrik 24 jam bagi fasilitas mereka,” tulis BloombergNEF.

Tahun ini berpotensi menjadi tahun pertama di mana penurunan emisi dari sektor energi mengalami penurunan. BloombergNEF memperkirakan emisi akan turun sebesar 13% pada 2035, tetapi peningkatan pusat data akan menghambat laju penurunan ini.

Emisi karbon kumulatif diprediksi mencapai 3,5 gigaton lebih dalam 10 tahun mendatang. Volume itu setara dengan 10% emisi yang dihasilkan saat ini. Sementara itu, Amerika Serikat dan China diperkirakan tetap menjadi dua kontributor emisi terbesar.

Kebangkitan AI juga mengubah lanskap pasar listrik di AS. Permintaan listrik dari pusat data negara itu diperkirakan meningkat dari 3,5% saat ini menjadi 8,6% dari total konsumsi listrik pada 2035.

Amazon tercatat sebagai operator pusat data terbesar dengan kapasitas hampir 3 gigawatt (GW), ditambah dengan 12 GW yang masih dalam pengembangan. Microsoft, Meta, dan Google dari Alphabet Inc. menyusul sebagai operator pusat data terbesar selanjutnya. Dominasi perusahaan teknologi AS menunjukkan bahwa mayoritas pelatihan model AI skala besar masih dilakukan di negara tersebut.

New Energy Outlook turut mengestimasi bahwa kenaikan suhu rata-rata global mencapai 2,6°C pada 2100. Proyeksi ini didasarkan pada “skenario transisi ekonomi” BNEF, yang memodelkan perubahan harga dan penyebaran teknologi. Namun pemodelan ini hanya mengacu pada paket kebijakan yang diterapkan saat ini, tanpa asumsi penerapan kebijakan baru.

Ekspansi Pusat Data AI Bikin Konsumsi Listrik Tetap Tinggi

Laporan BloombergNEF sejalan dengan riset Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) yang diriilis pekan lalu. Laporan IEA bertajuk Energy and AI mengungkap bahwa pertumbuhan pusat data untuk mendukung pemakaian AI bakal mendorong lonjakan permintaan pembangkit listrik berbahan bakar gas dan batu bara.

IEA mengestimasi permintaan energi untuk pusat data akan naik dua kali lipat pada 2030. Meski pasokan energi terbarukan terus meningkat, terutama di Eropa, pertumbuhan kapasitas dari energi angin maupun surya tidak akan mengimbangi kebutuhan yang meningkat. IEA menekankan bahwa pembangkit baseload seperti gas akan lebih cocok dengan pola konsumsi energi pusat data.

Beberapa pusat data yang sedang direncanakan disebut-sebut akan mengkonsumsi energi setara dengan kebutuhan listrik 5 juta rumah tangga. Hal ini membawa konsekuensi besar terhadap emisi gas rumah kaca global.

Meskipun lonjakan permintaan listrik dari pusat data diperkirakan akan meningkatkan emisi, laporan IEA juga menyatakan bahwa peningkatan ini relatif kecil dalam konteks keseluruhan sektor energi dan berpotensi diimbangi oleh pengurangan emisi yang dimungkinkan oleh penggunaan AI.

Selain itu, seiring makin besarnya pemakaian AI dalam riset, laporan IEA juga menyoroti bahwa teknologi ini dapat mempercepat inovasi dalam teknologi energi seperti baterai dan panel surya (solar PV).

“Di Amerika Serikat yang merupakan pasar pusat data terbesar dunia, sekitar 40% kebutuhan energi data center disuplai oleh gas, dan diperkirakan akan tetap menjadi sumber utama ekspansi kapasitas hingga 2030,” lapor IEA.

Sementara itu, IEA menyebutkan bahwa batu bara telah mendominasi bauran energi untuk mendukung pusat data. China sendiri merupakan pasar pusat data terbesar kedua di dunia.

Namun, IEA menambahkan bahwa masih ada ketidakpastian besar terkait proyeksi kebutuhan listrik untuk pusat data hingga 2035. Kisaran estimasi permintaan berkisar antara 700 hingga 1.700 terawatt-jam. Hal ini mencerminkan potensi variasi besar dalam kebutuhan energi, termasuk untuk gas dan nuklir.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler