Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Berlawanan dengan Tren Global, Indonesia Terus Tambah Kapasitas PLTU

Indonesia memiliki 130 unit PLTU captive dengan kapasitas masing-masing 30 MW atau lebih yang telah beroperasi.
Tumpukan batu bara di depan cerobong asap industri dengan latar langit biru./Bloomberg - Waldo Swiegers
Tumpukan batu bara di depan cerobong asap industri dengan latar langit biru./Bloomberg - Waldo Swiegers

Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia masuk dalam urutan ketiga negara yang terbesar menambah kapasitas PLTU sebesar 1,9 GW pada 2024, dengan 80% di antaranya merupakan PLTU untuk kepentingan tertentu (captive).

Hal tersebut terungkap laporan Global Energy Monitor (GEM) “Boom and Bust Coal 2025: Tracking the Global Coal Plant Pipeline”.

Laporan ini mengungkapkan, Indonesia memiliki 130 unit PLTU captive dengan kapasitas masing-masing 30 megawatt (MW) atau lebih yang telah beroperasi dan 21 unit dalam tahap pra-konstruksi dan konstruksi.

Sebagian besar PLTU dibangun untuk mendukung sektor hilirisasi mineral, yang mendorong kenaikan PLTU captive hingga tiga kali lipat dari 5,5 GW pada 2019 menjadi 16,6 GW pada 2024.

Di sisi lain, pertumbuhan kapasitas PLTU global mencapai titik terendahnya tahun lalu, yakni hanya naik 44 gigawatt (GW) dari rata-rata tahunan 72 GW pada 2004-2024.

Tercatat sejak Perjanjian Paris, kapasitas PLTU Indonesia mengalami kenaikan sebesar 29 GW. Secara total, Indonesia kini memiliki kapasitas PLTU terbesar kelima di dunia, yakni 54,7 GW.

Tak hanya itu, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060, terdapat penambahan kapasitas PLTU 26,7 GW dalam tujuh tahun ke depan, dengan 75% di antaranya merupakan PLTU captive.

“Terdapat ketidaksesuaian antara rencana batu bara Indonesia dan komitmen iklimnya. Ini seperti tangan kiri tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan,” kata Lucy Hummer, Peneliti Senior GEM.

Pada 2022, sebagai bagian dari transisi energi, Indonesia telah berkomitmen menghentikan pembangunan PLTU baru setelah 2022, dan menetapkan penghentian penggunaan batu bara secara nasional pada 2050.

Namun, moratorium tersebut tidak berlaku bagi PLTU yang sudah masuk dalam rencana pasokan listrik nasional dan PLTU yang dibangun untuk mendukung proyek strategis nasional dan industri yang memberikan nilai tambah, seperti hilirisasi mineral.

Padahal, PLTU captive berisiko mengulangi kesalahan pengembangan PLTU yang tersambung jaringan PT PLN (Persero), yang dibangun secara masif dan cepat dalam satu dekade terakhir sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas, perjanjian pembelian listrik jangka panjang yang mahal, serta berbagai kontroversi.

Manajer Riset Trend Asia, Zakki Amali mengatakan penutupan PLTU merupakan bagian dari program Just Energy Transition Program (JETP). Namun, menurutnya, belum ada kemajuan signifikan dari rencana pensiun dini PLTU setelah tiga tahun JETP berjalan. Bahkan, pemanfaatan batu bara di Indonesia justru semakin massif.

"Justru kini eksploitasi batu bara terus meningkat, PLTU batu bara captive berkembang tanpa kendali, dan kebijakan baru mengenai batu bara mendorong organisasi keagamaan serta usaha kecil untuk terlibat dalam pertambangan, bahkan kampus dapat memperoleh benefit dana tambang," ujarnya.  

Hingga kini, Indonesia masih menjadwalkan PLTU untuk tetap beroperasi hingga 2060 dengan mengadopsi teknologi co-firing dan penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS).

PLTU yang telah beroperasi direncanakan untuk diretrofit agar dapat beroperasi menggunakan amonia, biomassa, dan kemungkinan nuklir. Langkah ini dinilai justru merupakan strategi yang mahal dengan pengurangan emisi yang tidak pasti.

“Alternatif yang diusulkan kemungkinan besar lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat co-firing dengan biomassa dapat mendorong deforestasi, sementara CCS tetap menjadi solusi yang belum terbukti,” ujar Lucy. 

Laporan GEM juga mengungkapkan, sebanyak 22 negara di dunia telah memangkas kapasitas PLTU batu bara milik mereka. Penghentian operasi PLTU di Uni Eropa telah naik empat kali lipat dari 2,7 GW pada 2023 menjadi 11 GW pada 2024, dengan Jerman sebagai penyumbang terbesar sebesar 6,7 GW.

Sementara itu, Inggris menjadi negara keenam yang telah sepenuhnya menghentikan penggunaan batu bara sejak Perjanjian Paris. Sebaliknya, Indonesia bersama China, India dan sembilan negara lainnya justru masih terus menambah kapasitas PLTU.

China menempati posisi tertinggi menambah kapasitas PLTU hingga 30,52 GW, disusul India 5,81 GW, Indonesia 1,9 GW, Bangladesh 1,26 GW, dan Korea Selatan 1,05 GW.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper