Bisnis.com, JAKARTA — Rencana Uni Eropa untuk menerapkan pembatasan importasi komoditas pertanian terkait deforestasi melalui European Union Deforestation Regulation (EUDR) tetap memberikan peluang bagi produk olahan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia.
Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMAR) Agus Purnomo mengemukakan bahwa kebijakan yang menitikberatkan ketelusuran dan keberlanjutan produk sebagaimana EUDR telah mulai diadopsi oleh destinasi ekspor lainnya, seperti China dan Amerika Serikat. Langkah serupa juga diterapkan di Pakistan dan India ketika mengimpor bahan baku produk olahan yang akan dikirim ke negara anggota Uni Eropa.
“Salah satu pembeli kami di Pakistan yang memproduksi coklat dan ekspor ke Uni Eropa turut mempertanyakan status kepatuhan EUDR ini. Jadi mereka ikut aturan tersebut karena pasarnya adalah Eropa,” kata Agus dalam diskusi bertajuk Implementasi Deforestation and Conversion-Free (DCF) dalam Pendekatan Yurisdiksi untuk Pengelolaan Komoditas Berkelanjutan di Indonesia yang digelar WWF Indonesia, Selasa (18/3/2025).
Peluang lain datang dari bergesernya preferensi konsumen produk olahan minyak sawit. Agus mengatakan bahwa pembeli mulai mempertanyakan apakah produk sawit perusahaan berasal dari perkebunan yang bebas pembabatan hutan (deforestation free). Kondisi ini ditangkap perusahaan sawit Indonesia sebagai peluang untuk mengisi ceruk pasar.
“Jumlah konsumen yang bergeser aspirasinya ini sebenarnya tidak banyak, tetapi hal ini nyata dan kemampuan belinya juga nyata. Jadi beberapa produsen besar sawit yang memang langganan jualan ke Eropa itu mencoba mengisi ceruk baru yang muncul dari perubahan aspirasi konsumen tersebut,” paparnya.
Eksportir sawit yang memenuhi kriteria bebas deforestasi dan keberlanjutan juga memiliki peluang lebih besar untuk mengamankan pendanaan hijau. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah merilis taksonomi hijau yang mencakup deretan bisnis berkriteria berkelanjutan untuk pendanaan hijau.
Baca Juga
“Kalau kami ingin investasi tambahan untuk menambah kemampuan dalam menghasilkan produk yang berkelanjutan, itu ada sumber dana yang akan lebih murah,” kata Agus.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Climate Market and Transformation WWF Indonesia Irfan Bakhtiar mengemukakan bahwa aspek legalitas merupakan salah satu isu yang menjadi prioritas tata kelola perkebunan sawit Indonesia.
Pemerintah sendiri telah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Aturan ini kemudian diikuti dengan penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 mengenai subyek hukum pelaku perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan.
“Kami sangat mengapresiasi upaya pemerintah dalam melakukan penertiban kawasan hutan. Penerbitan SK Menteri Kehutanan Nomor 36 menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit,” kata Irfan.
WWF Indonesia pun berharap langkah penertiban kelapa sawit di kawasan hutan juga dapat diikuti dengan penyelesaian yang selaras kaidah keberlanjutan dan aturan yang ada. Misalnya saja, penerapan sanksi, pemulihan fungsi kawasan melalui strategi Jangka Benah dan langkah-langkah restorasi lainnya.