Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga pemeringkat utang S&P Global Ratings memperkirakan penerbitan obligasi berkelanjutan global tetap kuat pada 2025. Nilai penerbitan diramal mencapai US$1 triliun menurut laporan Sustainable Bond Outlook 2025.
"Obligasi hijau akan terus mendominasi penerbitan, sementara obligasi transisi dan sustainability-linked bonds berpotensi mendorong total penerbitan obligasi berkelanjutan mencapai US$1 triliun tahun ini," tulis laporan tersebut. Volume ini diperkirakan serupa dengan 2024.
Salah satu pendorong utama adalah diversifikasi, di mana peminjam dari negara supranasional dan berpendapatan rendah berupaya mengatasi kesenjangan pembiayaan iklim melalui instrumen seperti blended finance.
Pekan ini, Kerajaan Arab Saudi menerbitkan obligasi hijau euro perdananya senilai 1,5 miliar euro. Obligasi ini tercatat menarik minat investor hingga 7,25 miliar euro. Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung rencana transformasi ekonominya.
Transaksi tersebut merupakan penerbitan obligasi hijau pertama oleh negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, menyusul peluncuran kerangka pembiayaan hijau negara itu pada 2024.
Proyeksi S&P ini sejalan dengan estimasi ekonom Bloomberg yang memperkirakan penerbitan surat utang berbasis ESG pada 2025 akan melampaui rekor penerbitan tahun sebelumnya, didorong oleh ambisi transisi energi dan permintaan investor.
Baca Juga
Namun, S&P Global juga melihat potensi hambatan terhadap penerbitan obligasi berkelanjutan pada 2025, termasuk ketidakpastian dukungan politik serta komitmen sektor keuangan dalam mendukung target dekarbonisasi.
Sebagai contoh, Uni Eropa telah mengajukan proposal penyederhanaan regulasi keberlanjutan, dengan paket kebijakan yang diperkirakan akan menghemat biaya administrasi perusahaan hingga 6,3 miliar euro per tahun. Perubahan ini mencakup pengurangan Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD) sekitar 80%.
Sementara itu, bank asal Belanda ING memperkirakan penerbitan pembiayaan berkelanjutan pada 2025 akan melanjutkan pertumbuhan dari posisi 2024 yang mencapai US$1,65 triliun. Namun nilai penerbitan diestimasi tetap lebih rendah daripada level 2021.
ING dalam laporan bertajuk Sustainable Finance: Paint It Green menyebutkan bahwa pertumbuhan penerbitan obligasi berkelanjutan pada 2025 akan didorong oleh kebutuhan dana untuk mitigasi iklim. Target dekarbonisasi 2030 juga bakal menjadi katalis investasi energi hijau.
“Korporasi akan memperluas fokus mereka dari mitigasi iklim ke adaptasi iklim karena meningkatnya frekuensi bencana alam akan mempengaruhi ketahanan bisnis,” tulis ING.
Regulasi dan standardisasi yang lebih baik, serta kejelasan terkait ambisi target keberlanjutan, juga akan membantu pertumbuhan penerbitan obligasi. European Green Bond Standard yang baru kemungkinan akan menjadi katalisator bagi peningkatan penerbitan obligasi hijau.
Di sisi lain, terdapat beberapa tantangan, terutama perubahan politik di Amerika Serikat, meskipun dampaknya lebih kecil di Eropa.
“Iklim kebijakan di bawah pemerintahan Trump saat ini membuat perusahaan lebih berhati-hati dan dapat sedikit menekan volume penerbitan obligasi,” tulis ING.
Meski demikian, pembiayaan hijau berbasis proyek masih berpeluang mempertahankan momentumnya. Banyak negara bagian, lembaga lokal, perusahaan, dan institusi keuangan AS tetap berpegang pada target keberlanjutan mereka masing-masing, sehingga dampaknya diperkirakan tidak terlalu signifikan.
Sebaliknya, sebagian besar Asia, Inggris, dan banyak segmen pasar negara berkembang (emerging markets) diperkirakan tetap aktif dan berupaya meningkatkan transisi mereka ke ekonomi hijau.
Pada 2024, penerbitan obligasi dan pinjaman transisi dari Asia meningkat secara signifikan. Jepang menjadi pemain dominan dalam penerbitan utang transisi secara global, dengan 86% dari total penerbitan pada 2024 berasal dari negara tersebut, berkat Climate Transition Bond Framework yang diterapkannya.
Ke depan, utang transisi berpotensi tumbuh di Asia, dengan penerbitan yang telah diamati di China, Thailand, Vietnam, dan Korea Selatan tahun lalu. Namun, tanpa adanya definisi dan kerangka kerja yang seragam, potensi penerbitan utang transisi di luar Asia masih terbatas.