Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Wulan Fitriana

NHRG Research Group, Power System Laboratory ITBRace

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : EBT & Keadilan Generasi

Krisis iklim yang makin nyata dirasakan saat ini tidak hanya mengancam satu atau beberapa sektor tertentu, tetapi seluruh ekosistem bumi.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (18/8/2024)/Bisnis-Paulus Tandi Bone
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (18/8/2024)/Bisnis-Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah kembali menunjukkan wajahnya yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek ketimbang masa depan rakyatnya sendiri.

Isu wacana Pemerintah mulai ragu untuk melakukan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) tidak menutup kemungkinan Indonesia juga akan menarik diri atau menurunkan komitmennya terhadap Paris Agreement seperti Amerika Serikat, hal tersebut dapat dikatakan bukan hanya langkah mundur dalam komitmen global terhadap mitigasi perubahan iklim, tetapi juga bentuk mencederai terhadap prinsip intergenerational justice, keadilan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Krisis iklim yang makin nyata dirasakan saat ini tidak hanya mengancam satu atau beberapa sektor tertentu, tetapi seluruh ekosistem bumi. Krisis iklim yang makin nyata saat ini bukan hanya mengancam satu atau beberapa sektor, tetapi seluruh planet bumi. Berdasarkan Stockholm Resilience Centre pada 2023, kondisi bumi saat ini sudah melampaui batas aman dalam beberapa aspek utama yang dikenal sebagai Planetary Boundaries (Batas Planet).

Konsep tersebut dikembangkan oleh para ilmuwan untuk mengukur sejauh mana aktivitas manusia telah menekan sistem bumi hingga mencapai titik kritis yang berisiko besar bagi kehidupan. Saat ini setidaknya enam dari sembilan batas planet telah terlampaui.

Pertama, perubahan iklim, emisi gas rumah kaca yang terus meningkat menyebabkan suhu global naik drastis. Kedua, kehilangan keanekaragaman hayati, hilangnya spesies dalam skala besar akibat deforestasi dan eksploitasi berlebihan.

Ketiga, perubahan sistem penggunaan lahan, deforestasi besar-besaran dan alih fungsi hutan yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Keempat, gangguan siklus nitrogen dan fosfor, penggunaan pupuk berlebihan yang mencemari tanah dan perairan.

Kelima, polusi kimia dan zat asing lainnya, peningkatan pencemaran dari bahan kimia berbahaya seperti plastik dan logam berat. Keenam, krisis air tawar, penggunaan dan pencemaran air yang melebihi kapasitas regenerasi alam.

Ketika batas-batas tersebut sudah terlampaui, maka bumi kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan stabilitas ekosistem yang menopang kehidupan. Pertemuan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim ke-21 di Paris pada Desember 2015, menyepakati Paris Agreement yang menyatakan bahwa kenaikan suhu bumi seharusnya dapat dikendalikan menjadi kurang dari 1,5 C saat ini sudah gagal, hingga saat ini suhu bumi sudah mengalami kenaikan hingga 1,54°C.

Jika rencana penarikan diri dari Paris Agreement mengikuti jejak Amerika Serikat (AS) benar-benar direalisasikan, maka Indonesia akan makin tertinggal dalam upaya transisi energi dan makin terjerumus dalam ketergantungan pada energi fosil. Dampaknya akan makin menyengsarakan kelompok rentan yang selama ini sudah terdampak, kualitas udara makin buruk, dan masa depan intergenerasi yang dikorbankan hanya demi keuntungan kapitalis dalam sistem ekonomi yang eksploitatif dan rakus.

Padahal, komitmen terhadap Paris Agreement bukan sekadar kepatuhan terhadap perjanjian internasional, melainkan juga bentuk tanggung jawab moral dan politik dalam melindungi hak hidup masyarakat, terutama generasi mendatang. Jika pemerintah benar-benar peduli pada rakyatnya, mereka seharusnya mempercepat transisi energi, bukan malah mencari jalan keluar untuk terus mengeksploitasi sumber daya fosil tanpa memperhatikan dampak ekologis.

Penarikan diri dari Paris Agreement bukan solusi, melainkan bentuk ketidakadilan dan hanya makin menumpuk permasalahan ekologis dan sektor yang selama ini sudah dirasakan oleh masyarakat dan berbagai sektor terdampak seperti sektor ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elite.

Selain itu, sektor pertanian, sektor energi, sektor industri, sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan, sektor ekosistem, sektor transportasi dan teknologi, sektor rumah tangga, sektor kesehatan yang sudah terdampak. Generasi masa depan berhak mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya alam secara layak. Konsep intergenerational justice atau keadilan antargenerasi menegaskan bahwa setiap generasi memiliki hak yang sama untuk menikmati dan memanfaatkan sumber daya alam secara adil, tanpa dibebani oleh konsekuensi negatif dari eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh generasi sebelumnya.

Dalam konteks intergenerational justice, generasi masa depan berhak atas lingkungan yang sehat, sumber daya yang cukup, dan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Jika pemerintah mengabaikan menarik diri dari Paris Agreement dan terus mengeksploitasi energi fosil tanpa batas maka generasi mendatang akan menanggung dampak krisis iklim dan merenggut hak atas masa depan yang layak.

Emisi CO2 relatif meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan PDB, berdasarkan data terbaru menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut data European Commission, volume emisi GRK Indonesia pada 2022 mencapai 1,152 miliar ton setara CO2 (Mt CO2e), yang merupakan rekor tertinggi baru dan meningkat 7% dibandingkan dengan 2021, sebelumnya juga pada 2019 sendiri telah dilaporkan emisi GRK mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4,32% per tahun, berikut perincian beberapa sektor penghasil emisi gas rumah kaca, sektor kehutanan penyumbang emisi sebesar 50%, energi 34% (dengan perincian industri produsen energi (43,83%), transportasi (24,64%), industri manufaktur dan konstruksi (21,46%), sektor lainnya (4,13%), 17 limbah 7%, pertanian dan perkebunan 6%, dan IPPU (Industrial Process and Production Use, termasuk sektor rumah tangga) sebesar 3%.

Peningkatan emisi menjadi faktor utama terjadinya pemanasan global, sepanjang 2023 sendiri Indonesia masuk 10 sebagai negara penghasil emisi tertinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar emisi CO2 berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan efisiensi emisi CO2 yang menyebabkan krisis iklim.

Krisis iklim yang terjadi saat ini merupakan akumulasi akibat emisi yang dihasilkan dari pembakaran fosil yang menyebabkan peningkatan efek gas rumah kaca yang telah menyebabkan perubahan iklim secara negatif yang tidak hanya mengancam keseimbangan ekologis tetapi juga membahayakan kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.

Oleh karena itu, kebijakan yang mengorbankan lingkungan demi kepentingan ekonomi jangka pendek bertentangan dengan tanggung jawab moral dan hukum untuk menjaga keseimbangan ekologi bagi generasi yang akan datang. Jika suatu negara ingin benar-benar berpihak pada rakyatnya, maka seharusnya kebijakan untuk menangani krisis iklim menjadi prioritas masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas), bukan malah mundur dari komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Wulan Fitriana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper