Bisnis.com, JAKARTA – Meski proyek-proyek berbasis energi baru dan terbarukan terus dipacu di sejumlah kawasan, tren permintaan energi berbasis fosil masih terus meningkat. Bagaimana dengan Indonesia?
Belum lama ini, International Energy Agency (IEA) merilis data tren pertumbuhan permintaan minyak global diproyeksikan mencapai rata-rata 1,1 juta barel minyak per hari (bph) pada 2025, atau naik dari 870 juta bph pada 2024.
China, menjadi negara dengan pertumbuhan permintaan terbesar, karena ekspansi industri petrokimia setempat. Pada saat yang sama, India, dan beberapa negara berkembang di Asia juga mulai mengambil peran dalam pertumbuhan permintaan minyak.
IEA mengungkapkan, prakiraan pertumbuhan permintaan minyak global tahun ini telah direvisi sedikit lebih tinggi, setelah sedikit penurunan pertumbuhan pada tahun lalu sebesar 870 juta bph.
Selain minyak, India juga mencatatkan prognosa tren pertumbuhan gas alam karena perluasan infrastruktur gas dan hadirnya kebijakan yang mendorong pertumbuhan energi fosil dengan emisi terendah ini.
Pasar Gas India
Baca Juga
Permintaan gas alam India diperkirakan akan meningkat hampir 60% pada 2030. Menurut laporan IEA, ke depan permintaan gas India diperkirakan setara dengan beberapa konsumen terbesar di dunia.
Hingga 2030, menunjukkan konsumsi gas negara tersebut akan mencapai 103 miliar meter kubik (bcm) per tahun pada akhir dekade ini.
Terkait infrastruktur, India telah menunjukkan komitmennya untuk melakukan investasi besar-besaran sejak 2019. Tercatat India telah melipatgandakan jumlah stasiun gas alam terkompresi (CNG) dan lebih dari dua kali lipat jumlah sambungan gas perumahan, sambil memperluas jaringan pipa transmisinya hingga 40%.
Pada 2030, jumlah stasiun CNG dan sambungan rumah tangga diperkirakan akan meningkat hampir dua kali lipat lagi, dengan jaringan transmisi gas bertambah hingga 50%.
Selain untuk kebutuhan produksi, industri dan bahan bakar kendaraan, kebutuhan bahan baku untuk pembangkit listrik juga patut jadi sorotan. Meskipun proyek pembangkit listrik berbasis energi terbarukan berkembang pesat, konsumsi batu bara dunia tetap stabil pada beberapa tahun ke depan.
Tren Baru Bara
Merujuk data IEA, pada 2023 penggunaan batu bara dunia meningkat sebesar 2,6% hingga mencapai titik tertinggi sepanjang masa, didorong oleh pertumbuhan permintaan yang signifikan dari China dan India
“Analisis kami menunjukkan bahwa permintaan batu bara global kemungkinan akan tetap datar hingga 2025, berdasarkan pengaturan kebijakan dan tren pasar saat ini,” kata Keisuke Sadamori, Direktur Pasar Energi dan Keamanan IEA.
Kendati China dan India ekspansif dalam konsumsi energi fosil, dua negara ini terus mencari cara untuk menekan emisi karbon.
Rekor China di Pembangkit EBT
China punya catatan mentereng soal energi baru terbarukan (EBT). Melansir Reuters, China telah melampaui rekor peningkatan kapasitas pembangkit EBT pada 2024.
Berdasarkan data Badan Energi Nasional China yang dikutip Reuters, China memecahkan rekornya sendiri untuk pemasangan PLTS dan PLTB pada 2024. Kapasitas tenaga surya dan angin yang terpasang masing-masing naik 45,2% dan 18%.
Berdasarkan laporan IEA bertajuk Electricity 2025: Analysis and Forecast to 2027, menyebut emisi karbon CO2 China dari pembangkit listrik diproyeksi tumbuh melambat, dengan rata-rata 0,2% per tahun hingga 2027. Hal ini ditopang dengan percepatan pengembangan pembangkit berbasis energi bersih (energi terbarukan dan nuklir).
Pada periode yang sama, India diperkirakan akan mengalami peningkatan emisi rata-rata sebesar 2% per tahun. India juga punya gebrakan di sektor EBT. Berdasarkan data Kementerian Energi Baru dan Terbarukan India, per 20 Januari 2025, total kapasitas pembangkit non fosil India mencapai 217,62 GW.
Tahun lalu, India mencatat rekor penambahan kapasitas surya sebesar 24,5 GW dan kapasitas angin sebesar 3,4 GW, yang mencerminkan peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam pemasangan surya dan peningkatan 21% dalam pemasangan angin dibandingkan dengan 2023.
Produksi Emisi Karbon Indonesia
Khusus kawasan Asia Pasifik, termasuk China, Intensitas CO2 dalam pembangkitan listrik di dunia, tercatat menurun hingga 2027. Sayangnya, tidak dengan Indonesia.
Konsumsi emisi pembangkitan Indonesia masih meningkat hingga 2027, berbeda dengan China, India, Jepang, Korea dan Australia.
IEA menyebut, hampir 70% dari permintaan listrik tambahan pada 2025-2027 diperkirakan datang dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Tahun lalu, merujuk IEA, permintaan listrik Indonesia meningkat sekitar 11% tahun-ke-tahun, dengan kontribusi batu bara yang naik sekitar 10%, menyediakan sekitar 50% dari tambahan pembangkitan.
Adapun pembangkit listrik berbasis fosil di Indonesia menghasilkan peningkatan 9% dalam total emisi, dengan intensitas emisi mencapai 804 g CO₂/kWh.
Tenaga listrik berbahan bakar gas tumbuh sebesar 8% dan menyumbang 14% dari total campuran. Energi terbarukan, termasuk teknologi variabel energi terbarukan (PLTS/PLTB), mencatat peningkatan year on year (y-o-y) paling tajam sebesar 15%, berkontribusi 18% terhadap total pasokan.
Saat ini, di tengah dominasi energi fosil Indonesia berencana meningkatkan porsi EBT dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034.
Pasokan energi berkapasitas tenaga surya, hidro, dan panas bumi ditargetkan lebih besar. Pemerintah saat ini tengah menyelesaikan pembahasan RUPTL bersama PLN, di mana sekitar 70% dari tambahan kapasitas 71 gigawatt (GW) yang direncanakan akan bersumber dari energi terbarukan, kata Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo.
"Ini akan meningkatkan bauran energi terbarukan dari sekitar 12% menjadi sekitar 35% pada 2034," ujarnya dalam Mandiri Investment Forum 2025 pada Selasa (11/2/2025), dikutip dari Reuters.