Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha pengolahan kakao skala kecil di Pantai Gading khawatir akan gulung tikar akibat beban biaya tambahan yang timbul untuk mematuhi regulasi antideforestasi Uni Eropa yang tertuang dalam EU Deforestation Regulation (EUDR).
Aturan yang menargetkan pengurangan deforestasi global sebesar 10% akibat konsumsi negara-negara UE ini mewajibkan importir membuktikan bahwa rantai pasok komoditas seperti kakao, kedelai, daging, kopi, minyak sawit, karet, dan kayu tidak terkait dengan deforestasi.
Untuk memenuhi regulasi tersebut, pemerintah Pantai Gading menerapkan sistem penjualan dan pembelian digital guna memudahkan proses verifikasi. Namun, koperasi dan eksportir lokal skala kecil merasa sulit bersaing dengan perusahaan multinasional yang memiliki sumber daya finansial dan tenaga kerja lebih besar untuk menanggung biaya serta beban administratif tambahan.
Dua sumber dari regulator Coffee and Cocoa Council Pantai Gading menyebutkan bahwa sekitar 900.000 dari satu juta petani kakao telah menerima kartu identitas digital yang juga berfungsi sebagai kartu bank.
Dalam sistem baru ini, pembayaran kepada petani dilakukan melalui operator uang elektronik oleh eksportir setelah pembeli atau koperasi mengirimkan biji kakao ke pelabuhan, sehingga menghilangkan praktik pembayaran tunai melalui perantara.
“Dengan kartu ini, keterlacakan kakao Pantai Gading terjamin 100%,” kata salah satu sumber kepada Reuters, seraya menambahkan bahwa semua data petani akan disimpan secara daring. Sumber lainnya menyebutkan sistem yang telah diuji pada sejumlah produsen, koperasi, dan eksportir ini akan mulai diberlakukan secara wajib mulai 1 Oktober 2025.
Baca Juga
Pelaksanaan EUDR sendiri sempat ditunda setahun hingga Desember 2025, setelah adanya keluhan dari mitra dagang dan desakan pelaku industri untuk pengurangan persyaratan pelaporan.
“Kepatuhan terhadap regulasi ini membutuhkan investasi yang tidak mungkin kami penuhi,” ujar direktur salah satu perusahaan dagang di Pantai Gading yang khawatir perusahaannya terancam bangkrut.
Presiden salah satu koperasi eksportir kakao menambahkan bahwa perusahaan multinasional bersiap mengalokasikan biaya setidaknya 200 franc CFA (US$0,36) per kilogram untuk kepatuhan regulasi. Angka tersebut dinilai terlalu tinggi untuk ditanggung koperasi lokal.
Para pelaku usaha kakao juga berpandangan aturan baru ini dapat mematikan koperasi yang rentan maupun eksportir lokal jika pemerintah Pantai Gading tidak turun tangan memberikan perlindungan.
“Kami tidak menentang keterlacakan maupun keberlanjutan. Namun, kami mengkritik bahwa UE hanya melindungi industri dan warganya sendiri, sementara regulasi ini akan mematikan bisnis lokal,” kata direktur salah satu perusahaan eksportir kakao kepada Reuters. Para pemimpin perusahaan tersebut menolak diungkap identitasnya untuk menghindari tekanan atau ancaman terhadap bisnis mereka.