Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Target Bauran EBT Diprediksi Tak Tercapai, Pemerintah Perlu Benahi Iklim Investasi

Pemerintah diminta memperbaiki iklim investasi energi terbarukan dengan meningkatkan kualitas kebijakan dan regulasi untuk meningkatkan investasi EBT.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (18/8/2024)/Bisnis-Paulus Tandi Bone
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (18/8/2024)/Bisnis-Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Essential Services Reform memprediksi target bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun ini tak akan tercapai. Salah satu indikatornya adalah investasi di sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) di 2024 yang hanya mencapai US$1,8 miliar dari target US$2,6 miliar. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan iklim investasi buruk menjadi penyebab target investasi energi terbarukan tidak tercapai.

Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor struktural, seperti struktur industri kelistrikan, kebijakan dan regulasi yang kurang berkualitas, risiko negara (country risk), serta preferensi terhadap batubara melalui kebijakan domestic market obligation (DMO).

Fabby mendorong pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi energi terbarukan dengan meningkatkan kualitas kebijakan dan regulasi, mereformasi kebijakan DMO batubara, subsidi energi, serta proses pengadaan pembangkit di PLN.

Selain itu, IESR juga menekankan pentingnya penyederhanaan perizinan, insentif fiskal untuk meningkatkan bankability proyek energi terbarukan, dan kemudahan akses bagi konsumen untuk mendapatkan energi terbarukan.

“Penting dilakukan transparansi dan akuntabilitas dalam laporan Capaian Sektor ESDM 2024, dengan mencantumkan target 2025 serta menyertakan data capaian bauran energi terbarukan tahun 2024,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (14/2/2025). 

Berdasarkan data Kementerian ESDM capaian bauran energi terbarukan di 2024 meningkat 1% dari 13,9% di 2023 menjadi 14,1% di 2024. Angka ini terbilang kecil jika dibandingkan dengan target bauran yang mesti dicapai pada 2024 adalah 19,5%. IESR telah berulang kali mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi dan menyiapkan strategi yang inovatif untuk memecah mandeknya pencapaian target bauran energi terbarukan. 

Menurutnya, pemerintah dapat memanfaatkan kemitraan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk membiayai proyek energi terbarukan strategis. Komitmen pendanaan dari negara-negara anggota IPG dan GFANZ perlu dimobilisasi untuk menarik investasi yang lebih besar.

Namun demikian, dia menyoroti pencairan pendanaan JETP masih terkesan lambat karena pemerintah kurang cepat menyiapkan usulan proyek yang bankable, mereformasi kebijakan-kebijakan kunci yang menghambat pengembangan energi terbarukan selama ini, dan mengatasi ketidakpastian implementasi JETP pasca pergantian Pemerintah Indonesia pada Oktober tahun lalu.  

“Walaupun target bauran energi terbarukan 23% direncanakan digeser ke 2030, pemerintah harus berupaya sebesarnya untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di tahun ini,” kataya. 

Dia menilai di tengah pemotongan anggaran tahun ini, pemerintah harus mengoptimalkan investasi swasta dan publik untuk energi terbarukan. Investasi swasta untuk pembangkit energi dilakukan melalui PLN di antaranya untuk proyek-proyek PLTS skala utilitas, dan investasi PLTS atap oleh konsumen industri, bisnis dan rumah tangga, yang tidak membutuhkan subsidi pemerintah tapi memerlukan kemudahan perijinan dan kuota PLTS yang lebih besar oleh PLN. 

Namun demikian, dia mengapresiasi keputusan pemerintah untuk mengupayakan pensiun dini PLTU Cirebon dan menggantinya dengan 700 MW PLTS dengan penyimpanan baterai, 346 MW PLTS, 1.000 MW PLTB, serta 12 PLTSa.

“Proses keputusan akhir untuk pensiun PLTU Cirebon yang sudah berlangsung sejak 2022 belum selesai hingga sekarang. Proses pensiun dini PLTU Cirebon I menjadi referensi dan pembelajaran penting untuk upaya pensiun dini sejumlah PLTU yang secara teknis-ekonomis lebih menguntungkan bagi PLN daripada dioperasikan lebih lanjut. Sesuai kajian IESR ada 4,6 GW PLTU yang berpotensi diakhiri operasinya hingga 2025,” ucapnya.  

Dia mendorong pemerintah Indonesia untuk mulai merencanakan pembatasan produksi batubara yang trennya selalu naik pesat dalam 10 tahun terakhir. Tahun ini produksi batubara nasional mencapai 836 juta ton, melebihi target 710 juta ton. Menurutnya, meningkatnya produksi batubara justru menjadi sinyal melemahnya komitmen transisi energi Indonesia.

“Pemerintah perlu menghitung manfaat dan biaya untuk pengakhiran operasi PLTU secara bertahap hingga 2050, terutama dampaknya terhadap biaya produksi listrik dan subsidi listrik dalam jangka panjang. Kajian IESR menunjukkan bahwa pada 2030, biaya produksi listrik bisa lebih murah jika pembangkit energi terbarukan menyumbang lebih dari 30 persen dalam sistem kelistrikan,” tuturnya. 

Terkait investasi energi terbarukan yang masih di bawah target, Fabby menekankan pentingnya sinergi antara Kementerian ESDM, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Keuangan Kementerian BUMN, Bappenas, serta Kementerian Luar Negeri guna menciptakan kebijakan yang lebih harmonis dan menarik bagi investor.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper