Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat.
Pada 2022, Indonesia menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar yang salah satu targetnya puncak emisi 290 juta ton karbon dioksida (CO2) dan bauran energi terbarukan 34% pada 2030.
Komitmen ini mencerminkan peluang investasi besar untuk mempercepat transisi energi. Ketersediaan data proyek energi terbarukan, perencanaan, dan informasi pelelangan menjadi faktor kunci dalam menarik investasi bersih.
Manajer Program Transformasi Sistem Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan pihaknya mendorong ketersediaan data potensi proyek energi terbarukan sehingga dapat memantik penurunan emisi yang signifikan. Meskipun potensi teknis energi terbarukan Indonesia mencapai lebih dari 3.700 GW, namun pemanfaatannya terutama PLTS dan PLTB masih jauh dari optimal.
Menurutnya, terdapat potensi proyek energi terbarukan berdasarksn regulasi tarif yang berlaku saat ini, seperti Perpres No. 112/2022 serta ketersediaan infrastruktur jaringan listrik seperti gardu induk dan transmisi. Adapun potensi pengembangan proyek energi terbarukan hingga 333 gigawatt (GW) yang dapat dipasok oleh PLTS, PLTB dan PLTM.
“Melihat potensi ini, tentu saja ada kontradiksi dengan realitas pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa kita bisa bergerak lebih cepat dalam memanfaatkan energi terbarukan ini, khususnya PLTS dan PLTB,” ujarnya dikutip dari laman IESR, Rabu (26/3/2025).
Baca Juga
Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan IESR Pintoko Aji menuturkan 333 GW potensi pengembangan energi terbarukan terdiri dari PLTB daratan (onshore) sebesar 167 GW, PLTS di daratan (ground-mounted) sebesar 165,9 GW, dan PLTM sebesar 0,7 GW.
Angka tersebut didapatkan dari hasil simulasi finansial dan skema private-public partnership pada 1.500an lokasi yang berpotensi secara teknis. Dari jumlah tersebut, 205,9 GW atau sekitar 61 persen dari total potensi yang layak secara finansial diindikasikan memiliki tingkat pengembalian Equity Internal Rate of Return/EIRR di atas 10% yang menunjukkan potensi investasi yang menjanjikan.
“Misalnya saja sumber daya minihidro banyak di wilayah Sumatera, sementara potensi tenaga angin terbesar di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Di sisi lain, energi surya memiliki potensi menjanjikan di wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Untuk mewujudkan potensi ini, pembangunan infrastruktur yang mendukung, terutama dalam hal transmisi dan distribusi energi, sangat diperlukan,” tuturnya.
Pihaknya mendorong pemerintah untuk mengakomodasi alokasi penggunaan lahan untuk energi terbarukan dalam perencanaan tata ruang daerah, menyederhanakan proses pengadaan lahan untuk mengurangi risiko investasi, dan menetapkan target spesifik per daerah dalam pemanfaatan energi terbarukan.
Sementara untuk mengakomodasi integrasi lokasi energi terbarukan dengan potensi keuntungan tinggi, PLN dapat menyusun perencanaan dan perluasan jaringan ke lokasi-lokasi yang teridentifikasi tersebut dan reformasi mekanisme pengadaan.
Lalu untuk menentukan skala prioritas pengembangan energi terbarukan, IESR mendorong pengembang untuk memprioritaskan proyek dengan potensi keuntungan tinggi dan mengoptimalkan desain dan perencanaan keuangan.
Sementara itu, Ketua Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Herman Darnel Ibrahim menegaskan dengan tantangan transisi energi yang semakin mendesak, energi surya menjadi sumber daya yang dominan dan berperan penting untuk masa depan energi Indonesia.
“Pengembangan teknologi energi surya saat ini sudah matang dan semakin kompetitif, terutama dibandingkan dengan pembangkit tenaga nuklir maupun gas,” ucapnya.