Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana merilis pasar karbon yang bersifat mandatory atau wajib bagi industri yang menghasilkan karbon melewati batasan emisi yang ditentukan. Dalam hal ini, Pusat Industri Hijau Kemenperin masih menggodok aturan terbaru dalam rangka dekarbonisasi industri.
Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin Apit Pria Nugraha mengatakan, pasar karbon industri ini berbeda dengan IDX Carbon yang sifatnya masih voluntary atau sukarela. Mekanisme perdagangan yang diusung juga disebut berbeda dari segi perhitungan karbon emisinya.
"Kenapa bikin lagi carbon market, padahal sudah ada IDX Carbon? Yang kami susun adalah mandatory carbon market. Yang sudah exist itu namanya voluntary carbon market," kata Apit dalam agenda Carbon Neutrality (CN) Mobility Event Toyota, Kamis (13/2/2025).
Dia menerangkan, perdagangan di IDX Carbon dihitung berdasarkan proyek, sementara mandatory carbon market yang akan dirilis Kemenperin menghitung emisi berdasarkan fasilitas produksi.
Adapun, tujuan dari perdagangan karbon industri yakni sebagai salah bagian dari kebijakan restriktif Kemenperin terkait pembatasan emisi karbon bagi seluruh industri. Aturan pembatasan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk Permenperin dan targetnya dirilis tahun ini.
"Langkah awal dari menyusun kebijakan tersebut kami harus membuat dulu satu sistem informasi pendukung karena ini enablers-nya. Kita bagaimana bisa melakukan perdagangan emisi kalau data aja enggak punya, harus punya infrastrukturnya dan sistem informasinya," tuturnya.
Baca Juga
Untuk itu, Kemenperin juga akan menerapkan wajib lapor emisi bagi industri guna mengumpulkan profil emisi gas rumah kaca (GRK) dan polutan. Di samping itu, Apit menuturkan bahwa Kemenperin akan mulai membatasi emisi untuk empat subsektor industri.
"Kita membatasi dulu di empat subsektor prioritas yaitu industri semen, pupuk, industri baja, dan pulp and paper. Jadi pembatasan emisi [emisi allowance] ini ibaratnya jatah mengeluarkan emisi selama 12 bulan ke depan," jelasnya.
Dalam 1 tahun, apabila industri melewati batasan emisi yang ditentukan, maka 5% dari kelebihan emisi tersebut akan dikenakan pungutan, sementara sisanya akan diperdagangkan di mandatory carbon market.
Tak hanya membuat kebijakan restriktif, Kemenperin juga tengah mempersiaokan fasilitas untuk industri sebagai kompensasi dari aturan pembatasan emisi yang cukup membutuhkan modal besar untuk biaya validasi dan verifikasi serta penerapan teknologi rendah karbon.
"Kami sedang membangun ekosistem industri hijau, esensinya kita ingin memobilisasi. Kami banyak yang menawarkan green funding, green loan, pinjaman, tapi cost of fund-nya itu jauh dibawah conventional rate bahkan di bawah 2%, tapi harus dibalikkan," tuturnya.