Bisnis.com, JAKARTA — PT PLN (Persero) belum menerima dukungan pembiayaan untuk proyek transisi energi yang bersumber dari mekanisme Just Energy Transition Partnership (JETP).
Hal ini dikemukakan Executive Vice President of Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani menanggapi komentar Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo. Adik Presiden Prabowo itu menyebut JETP sebagai program gagal karena ketiadaan realisasi pembiayaan iklim meski komitmen mobilisasi dana dari negara maju telah bergulir sejak 2022.
“Untuk PLN sendiri, sumber pendanaan memang bervariasi, JETP itu salah satunya dan memang seperti disampaikan oleh Pak Hashim tadi, JETP sampai saat ini belum secara konkret membiayai proyek PLN,” kata Kamia dalam ESG Sustainability Forum 2025, dikutip Senin (3/2/2025).
Kamia menyebutkan bahwa sejauh ini PLN telah menerima dukungan pembiayaan dari Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), bank pembangunan asal Jerman yang juga tergabung dalam International Partners Group (IPG) JETP. Namun kesepakatan pembiayaan transisi energi itu sejatinya telah bergulir sebelum peluncuran JETP.
“Namun sesuatu [pembiayaan] yang baru yang datang dari JETP sebenarnya memang belum [ada],” tambah Kamia.
Dia menjelaskan kebutuhan pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung transisi energi mencapai Rp2.600 triliun, sebagaimana tertuang dalam Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Selain dukungan dari donor, Kamia mengatakan PLN mengembangkan sustainability link financing framework untuk membuka opsi pembiayaan transisi energi.
Baca Juga
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan transisi energi Indonesia, termasuk melalui pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, tidak akan dieksekusi sebelum aliran dana hibah internasional disalurkan.
“Di janjimu [JETP] ada lembaga donor yang membiayai, mana ada? Sampai sekarang belum ada. Nol. Kami mau [pensiun dini PLTU], tetapi ada uangnya dulu,” ujar Bahlil dalam acara bertajuk Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru di Jakarta, Kamis (30/1/2025) dikutip dari Antara.
Dia menyinggung biaya tinggi yang harus digelontorkan Indonesia jika harus mendanai transisi energi secara mandiri. Opsi pendanaan melalui anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN) pun dihapus untuk mewujudkan dekarbonisasi ketenagalistrikan Indonesia.
“Masa kita harus memaksa dana APBN atau PLN membuat bon [surat utang] baru lagi untuk membiayai itu? Kalau tidak ada duitnya, sorry, bos, kami harus memproteksi kebutuhan dalam negeri dulu,” ucap Bahlil.