Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah pejabat Indonesia menyuarakan komentar skeptis menanggapi nasib janji pendanaan transisi energi dari mitra internasional. Reaksi ini makin kentara setelah Amerika Serikat memutuskan keluar dari komitmen iklim global Perjanjian Paris.
Salah satu komentar ini datang dari Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo. Baru-baru ini, adik dari Presiden Prabowo Subianto itu mendaulat program bantuan pendanaan transisi energi Just Transition Energy Partnership (JETP) sebagai program gagal.
Dia berpandangan komitmen mobilisasi pendanaan senilai US$20 miliar atau setara Rp325,94 triliun (asumsi kurs Rp16.297 per dolar AS) yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang itu hanya omong kosong.
“JETP itu gagal, program gagal. Dua tahun berjalan, tetapi tidak satu dolar pun dikucurkan oleh pemerintah Amerika Serikat. Banyak omon-omon ternyata,” kata Hashim dalam ESG Sustainability Forum 2025, Jumat (31/1/2025).
Hashim mengatakan terdapat salah satu klausul dalam JETP yang menyebutkan bahwa komitmen hibah US$5 miliar dari Amerika Serikat hanya akan dimobilisasi jika dana tersedia. Alhasil, keputusan pemerintahan baru di bawah Presiden Donald Trump untuk menarik bantuan internasional senilai US$11 miliar bakal turut berimpak ke janji AS dalam JETP.
“Saya kira kata jangan harapkan deh US$20 miliar. Saya juga melihat komitmen ESG [environment, social and governance] kita nanti teruji karena Pak Prabowo sudah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 8%,” imbuh Hashim, merujuk pada kebutuhan energi Indonesia yang besar untuk menopang aktivitas ekonomi.
Sehari sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia turut menyampaikan keluhan serupa. Dia memastikan transisi energi Indonesia, termasuk melalui pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, tidak akan dieksekusi sebelum aliran dana hibah internasional disalurkan.
“Di janjimu [JETP] ada lembaga donor yang membiayai, mana ada? Sampai sekarang belum ada. Nol. Kami mau [pensiun dini PLTU], tetapi ada uangnya dulu,” ujar Bahlil dalam acara bertajuk Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru di Jakarta, Kamis (30/1/2025) dikutip dari Antara.
Dia menyinggung biaya tinggi yang harus digelontorkan Indonesia jika harus mendanai transisi energi secara mandiri. Opsi pendanaan melalui anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN) pun dihapus untuk mewujudkan dekarbonisasi ketenagalistrikan Indonesia.
“Masa kita harus memaksa dana APBN atau PLN membuat bon [surat utang] baru lagi untuk membiayai itu? Kalau tidak ada duitnya, sorry, bos, kami harus memproteksi kebutuhan dalam negeri dulu,” ucap Bahlil.
Bahlil mengakui bahwa pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia diadang ketidakpastian dengan keputusan Presiden AS Donald Trump keluar dari Perjanjian Paris.
“Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur barang ini? Mundur daripada Paris Agreement padahal salah satu yang mempelopori. Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri. Nah, kalau otaknya, kalau pemikirnya, negara yang memikirkan ini aja mundur, masa kita yang follower ini mau masuk pada jurang itu?” tuturnya.
Ubah Pendekatan, Tak Hanya Soal ‘Transisi Energi’
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam diskusi mengenai transisi energi di kanal YouTube IESR tak memungkiri bahwa pendanaan transisi energi di Indonesia banyak memperoleh dukungan dari negara maju, tak terkecuali Amerika Serikat.
Hengkangnya AS dari Perjanjian Paris, kata Fabby, sedikit banyak bisa berdampak ke komitmen negara maju lainnya dalam pendanaan iklim.
“Apa yang dilakukan Amerika bisa membuat orang-orang menjadi pesimistis. Amerika Serikat itu negara penghasil emisi terbesar kedua di dunia. Kalau Amerika Serikat tidak tidak melakukan [komitmennya], apalah arti kita? Kita sering dengar ini. Lalu apalah arti Indonesia? Meski Indonesia adalah penghasil emisi terbesar ketujuh di dunia,” kata Fabby.
Fabby mengemukakan arah kebijakan iklim penghasil emisi karbon besar lainnya, termasuk negara-negara yang tergabung dalam G20, bakal banyak menentukan nasib mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hal ini terutama menyangkut realisasi pendanaan iklim global dari negara maju senilai US$300 miliar yang disepakati dalam COP29 di Baku, Azerbaijan pada November 2024.
“Kendalanya adalah pembiayaan aksi iklim, terutama untuk negara berkembang. Komitmen memang naik tiga kali lipat menjadi US$300 miliar per tahun sampai 2035, tetapi dengan ekonomi dunia dalam kondisi kurang baik, meminta duit ke negara maju sulit,” paparnya.
Meski demikian, Fabby menilai peluang pendanaan tetap terbuka. Dalam konteks keikutsertaan Amerika Serikat dalam pendanaan transisi energi misal, Fabby mengatakan Indonesia bisa menggunakan pendekatan kerja sama ekonomi dan investasi. Sosok Donald Trump yang mengutamakan kepentingan domestik AS, lanjutnya, cenderung akan menomorduakan kebijakan terkait iklim.
“Trump itu sebenarnya sangat oportunis, apakah Amerika Serikat bisa diuntungkan atau tidak. Jadi mungkin framing transisi energinya adalah untuk mendukung penjualan produk-produk teknologi AS dan apakah kemudian perusahaan mereka bisa investasi dan ekspansi sehingga menghasilkan devisa. Dengan Trump, mungkin bukan hanya soal menyelamatkan iklim, tetapi about making investment,” kata Fabby.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengemukakan Indonesia seharusnya mulai berfokus pada sponsor pendanaan transisi energi potensial lain, salah satunya China. Negara ekonomi terbesar kedua itu tercatat memiliki kapasitas EBT terbesar di dunia dan berkontribusi paling besar dalam investasi transisi energi sepanjang 2024.
“China adalah salah satu negara yang produktif meningkatkan bauran energi terbarukan, dengan kapasitas panel surya mencapai 800 GW. Kenapa kita tidak minta teknologi dari sana? Seharusnya investasi dari China sejalan dengan dekarbonisasi Indonesia,” kata Bhima dalam Bisnis Indonesia Forum, Kamis (23/1/2025).
Riset terbaru BloombergNEF mengungkap bahwa China mendominasi investasi transisi energi dengan nilai menembus US$818 miliar pada 2024, dari total US$2,1 triliun secara global. Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan negara manapun, termasuk akumulasi investasi Amerika Serikat, Uni Eropa dan Inggris.
Sementara itu, nilai investasi AS di sektor transisi energi tercatat stagnan di angka US$338 miliar pada 2024, setelah sempat naik signifikan pada 2023. Sementara itu, 27 negara Uni Eropa mengucurkan US$381 miliar untuk pendanaan transisi energi sepanjang tahun lalu.