Bisnis.com, JAKARTA — Kesadaran perusahaan dalam penerapan environment, social, and good governance (ESG) semakin meningkat. Hal ini ditandai permintaan ruang perkantoran mengusung konsep hijau di Asia Pasifik.
Director of ESG Knight Frank Asia Pacific Jackie Cheung mengatakan perusahaan di berbagai negara mulai memprioritaskan ruang premium yang selaras dengan prinsip ESG dan mencari ruang perkantoran yang hemat biaya.
Hal ini komitmen korporasi dalam mengurangi jejak karbon, meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas karyawan melalui ruang berkelanjutan, meraih sertifikasi bangunan hijau, mengintegrasikan energi terbarukan, dan berkontribusi meningkatkan ketahanan iklim.
Perusahaan mencari fitur keberlanjutan yang ada di gedung perkantoran seperti sertifikasi bangunan hijau, pengisian kendaraan EV, penggunaan energi terbarukan seperti solar panel, penggunaan teknologi pintar, sertifikasi kinerja energi minimum, fasilitas yang mendukung bersepeda atau berjalan kaki, dan elektrifikasi bangunan.
"Korporasi memiliki target netral karbon dan net zero emission terutama perusahaan multinasional sehingga mereka mencari perkantoran yang menerapkan prinsip keberlanjutan. Melalui ruang tersebut, korporasi meyakini ada perbaikan pekerjaan dan produktivitas. Mereka bisa menurunkan skop-1 sekitar 50% dari emisi skop-1 mereka jika gedung perkantoran memiliki sejumlah fitur keberlanjutan," ujarnya, Rabu (27/8/2025).
Penerapan prinsip ESG di gedung perkantoran juga mempengaruhi besaran nilai sewa. Dia mencontohkan di Hong Kong, gedung perkantoran meyakini penerapan prinsip ESG akan mempengaruhi nilai sewa sebesar 10%. Para penyewa pun siap untuk memenuhi premi sewa untuk bangunan yang memenuhi standar ESG yang menunjukkan praktik berkelanjutan berdampak positif terhadap kepuasan dan loyalitas penghuni.
Baca Juga
Di sisi lain, untuk gedung perkantoran yang tidak menerapkan prinsip ESG maka akan ada pengurangan nilai sewa sebesar 20%. Adapun fitur yang dicari di gedung perkantoran hijau Hong Kong yakni sistem pengurangan dan pengolahan energi, air dan sampah, sistem pemantauan kualitas udara dalam ruangan, dan sistem manajemen gedung dan kontrol cerdas.
"Ini sebuah peringatan keras bahwa menjadi ramah lingkungan bukan lagi pilihan melainkan mandat pasar. 78% pemilik gedung di Hong Kong telah menjanjikan keberlanjutan dengan menerapkan sejumlah fitur keberlanjutan. Lima dari 17 fitur yang dinilai memiliki tingkat adopsi kurang dari 50%," katanya.
Dia menambahkan 50% bangunan perkantoran hijau sudah menerapkan prinsip ESG dan memiliki sertifikat hijau. Hal ini juga dikarenakan para pekerja akan mengalami peningkatan pendapatan jika bekerja di gedung perkantoran hijau. Prinsip hijau juga mulai banyak diterapkan di gedung perkantoran Singapura. Namun, saat ini Hong Kong memimpin pasar gedung hijau di Asia Pasifik.
"Nilai pendapatan pekerja mengalami penambahan bila bekerja di ruang perkantoran hijau. Kami melihat occupier properti di berbagai negara mulai menyertakan klausul sewa berbasis ESG saat mengambil keputusan," ucap Jackie.
GEDUNG PERKANTORAN HIJAU RI
Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia Syarifah Syaukat menuturkan tantangan terus berlanjut di semester pertama tahun 2025, di tengah ketidakpastian global transaksi sewa ruang gedung perkantoran di Central Business Distric (CBD) Jakarta masih terus bergulir, meski terbatas, diwarnai dengan relokasi, namun sejumlah ekspansi dan transaksi baru juga terlihat di semester pertama tahun 2025 ini.
Genap satu tahun, CBD Jakarta tidak mendapatkan pasokan tambahan gedung perkantoran. Setidaknya kondisi ini diperkirakan akan terus berlanjut sampai tahun 2028. Pembangunan berkelanjutan telah menjadi instrumen penting dalam transaksi sewa perkantoran. Hal ini dibuktikan dengan tingkat okupansi rata‐rata gedung bersertifikat hijau yang lebih tinggi dibandingkan gedung non‐hijau. Meskipun tidak ada penambahan gedung perkantoran hijau selama semester 1 tahun 2025, namun stok ruang perkantoran hijau saat ini berada 2,7 juta meter persegi.
"79,4%, okupansi green office di CBD Jakarta. Rerata keterisian ruang green office saat ini yang tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Okupansi green office terus membaik hingga saat ini sejak terkoreksi kembali setelah pandemi," tuturnya.
Tren ini juga tercermin dari harga sewa rata‐rata untuk ruang perkantoran ramah lingkungan yang relatif stabil. Pertumbuhan ruang perkantoran gedung bersertifikat hijau di CBD Jakarta cukup progresif selama 5 tahun terakhir di mana hampir semua gedung perkantoran kelas premium kini telah bersertifikat hijau.
Sebagian besar gedung perkantoran baru yang memasuki pasar telah bersertifikat hijau, sementara saat ini baru sekitar 37% gedung perkantoran yang disewa di CBD telah mencapai status ini. Lalu hampir semua gedung kantor di kelas premium grade A telah bersertifikat hijau. Meskipun demikian, masih ada potensi pertumbuhan signifikan sebelum gedung bersertifikat hijau menjadi jenis yang dominan.
"Para penyewa semakin mempertimbangkan ESG ke dalam strategi real estat mereka. Perusahaan multinasional terkemuka memimpin dengan net‐zero roadmaps dan perjanjian sewa yang berfokus pada ESG, memperlakukan ESG sebagai pendorong nilai, bukan sekadar persyaratan kepatuhan," ujarnya.
Terlebih, para penyewa global mengungkapkan terdapat tiga prioritas ESG utama untuk portofolio mereka adalah mengurangi jejak karbon, meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas karyawan melalui ruang yang berkelanjutan, dan memperoleh sertifikasi gedung ramah lingkungan. Saat mempertimbangkan keputusan pembangunan di masa depan, tiga fitur keberlanjutan teratas yang memengaruhi pilihan adalah sertifikasi gedung ramah lingkungan, fasilitas pengisian daya kendaraan listrik (EV), dan sumber energi terbarukan.
"Sertifikasi terkait lingkungan terus mendominasi di Indonesia, dengan sertifikat greenship dari Green Building Council Indonesia (GBCI) tetap menjadi sertifikasi keberlanjutan paling umum untuk gedung perkantoran di CBD Jakarta sebesar 61%, dibandingkan dengan WELL dan sertifikasi lain yang berfokus pada kesehatan. Di luar sertifikasi, pasar akan memerlukan strategi yang ditargetkan untuk mengatasi prioritas real estat tertinggi kedua para penyewa yakni meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas karyawan," kata Syarifah.
Adapun penyewa gedung perkantoran hijau di Jakarta yakni pertambangan, IT, minyak dan gas, e‐commerce, konstruksi, energi, dan industri terkait EV.
Country Head of Knight Frank Indonesia Willson Kalip menambahkan pergeseran preferensi occupier terus bergerak ke arah gedung kantor bersertifikat hijau. Tren ini diperkirakan akan terus mewarnai pertumbuhan perkantoran di Jakarta. Secara jangka panjang, tren ini akan memberikan dampak positif terhadap efisiensi penggunaan energi dan air dalam operasional gedung perkantoran.
"Untuk pasar Jakarta, perkantoran premium Grade A bersertifikasi hijau berada di posisi yang sangat menguntungkan. Gedung perkantoran ini tidak hanya memenuhi kriteria keberlanjutan, tetapi juga menawarkan ketahanan operasional yang dicari occupier. Oleh karena itu, seiring dengan menguatnya tren ini, para pemilik gedung yang proaktif berinvestasi pada aset yang selaras dengan prinsip ESG akan menjadi yang paling siap untuk menarik dan mempertahankan occupier berkualitas tinggi," ucapnya.
Head of Facilities Management Colliers Indonesia Christina Ng berpendapat sektor real estat komersial di Indonesia tengah mengalami transformasi penting dengan keberlanjutan menjadi pendorong utama nilai aset, permintaan penyewa, dan kepatuhan terhadap regulasi. Sertifikasi bangunan hijau kini bukan lagi pembeda
eksklusif melainkan telah menjadi standar pasar.
"Adopsi sertifikasi seperti Greenship, EDGE, LEED, dan bangunan gedung hijau (BGH) meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir, mencerminkan keselarasan yang semakin kuat antara tanggung jawab lingkungan dan kelayakan komersial," tuturnya.
Hingga pertengahan 2025, sektor perkantoran tetap menjadi penggerak utama mencakup 88% dari bangunan bersertifikasi dengan kantor grade A di
kawasan CBD Jakarta menunjukkan tingkat adopsi tertinggi.
Menurut Christina, perubahan ini bukan sekadar kelanjutan dari pemulihan pascapandemi melainkan mencerminkan pergeseran struktural yang lebih dalam dalam ekspektasi pasar. Korporasi multinasional dan investor institusional semakin memprioritaskan kepatuhan terhadap prinsip ESG. Sementara itu, pengembang dan pemilik gedung secara proaktif mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam strategi desain dan pengelolaan aset.
"Para pengembang tidak lagi menunggu permintaan penyewa untuk mendorong keberlanjutan. Mereka kini mengambil peran utama mengamankan masa depan aset mereka, meningkatkan efisiensi operasional, dan memposisikan diri secara kompetitif di pasar yang semakin matang," ujarnya.
Dia menilai sektor keuangan juga turut mendukung dengan dimasukkannya sektor konstruksi dan real estat dalam Taksonomi Hijau OJK versi kedua, serta insentif seperti pengurangan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk pembiayaan hijau, pengembangan berkelanjutan kini lebih mudah diakses. Bangunan bersertifikasi hijau kini berhak atas pembiayaan preferensial termasuk suku bunga lebih rendah dan akses modal yang lebih mudah.
Colliers Indonesia memproyeksikan peningkatan 54% dalam jumlah sertifikasi bangunan hijau hingga akhir tahun yang didorong oleh tekanan regulasi dan kesiapan pasar. Terdapat banyak peluang bagi pengembang untuk meningkatkan gedung Grade B dan C, memperluas upaya keberlanjutan ke sektor industri dan ritel, serta mengadopsi teknologi efisiensi energi tanpa investasi modal besar.
"Seiring keberlanjutan menjadi ciri utama real estat komersial modern, para pelaku industri harus beradaptasi. Kredensial hijau kini bukan lagi pilihan—melainkan kebutuhan untuk tetap relevan dan tangguh dalam jangka panjang," kata Christina.
CEO PT Leads Property Services Indonesia Hendra Hartono mengatakan tingginya perusahaan multinasional yang menempati gedung perkantoran bersertifikat hijau karena aturan global head office yang harus menerapkan aturan ESG di mana mendukung program kelestarian dan ramah lingkungan dengan harus memiliki sertifikat hijau. Adapun jumlah gedung perkantoran bersertifikat hijau di Jakarta saat ini mencapai 14% dari total luas lantai bruto CBD mencapai 1.076.404 meter persegi.
"Untuk itu salah satu cara pembobotan utama dan mudah dalam mendapatkan sertifikat hijau untuk kantor mereka adalah dengan menempati gedung kantor yang bersertifikat hijau, tidak hanya interior dan perabotnya yang ramah lingkungan," ucapnya kepada Bisnis.
Dia memprediksi tren permintaan untuk gedung perkantoran hijau terus berlangsung karena tekanan dari para korporasi multinasional yang memiliki policy mandatory untuk menempati gedung kantor dengan aspek kesinambungan (sustainability) terutama pada gedung grade A dan premium grade A. Para perusahaan besar dan multinasional kebanyakan dari mereka mulai mencari ruang perkantoran yang memenuhi standar keberlanjutan dan ramah lingkungan sebagai bagian dari komitmen ESG. Adapun perusahaan multinasional tersebut berasal dari sektor sektor finansial, pertambangan, jasa, consumer goods, dan teknologi.
"Jadi banyak gedung eksisting grade A yang melakukan upgrade ke gedung bersertifikat green building. Rerata semua gedung premium grade A sudah memiliki sertifikat green building. Tren sewa perkantoran di Jakarta semakin dipengaruhi oleh konsep gedung ramah lingkungan," tuturnya.
Gedung ramah lingkungan sangat menarik karena dapat mengurangi biaya operasional jangka panjang melalui efisiensi energi dan air, serta meningkatkan produktivitas karyawan melalui lingkungan kerja yang sehat.
"Para penyewa semakin sadar akan dampak lingkungan dan keberlanjutan. Terkait dengan harga sewa belum ada kenaikan untuk ruang perkantoran hijau, masih stabil. Harga transaksi sewa ruang kantor hijau dengan yang tidak, tidak ada perbedaan, jadi predikat green building bukan menjadi penentu harga sewa," ujar Hendra.
KOMITMEN PENGEMBANG GEDUNG HIJAU
Head of Investor Relations PT Ciputra Development Tbk (CTRA) Aditya Ciputra Sastrawinata mengatakan perusahaan berkomitmen dalam penerapan ESG dan keberlanjutan proyek properti.
Adapun emiten berkode CTRA memiliki skor ESG yang tergolong kategori medium dengan rating risiko ESG sekitar 24,16 yang berada di urutan 29 dari 85 perusahaan. CTRA menempati urutan kedua perusahaan emiten properti dalam nilai ESG.
"Hingga kini terdapat 7 proyek yang bersertifikasi hijau. Ketujuh proyek tersebut terdiri dari 5 proyek high rise dan 2 proyek hunian. Enam dari tujuh sertifikasi tersebut adalah sertifikasi EDGE (Excellence in Design for Greater Efficiencies) dan 1 merupakan sertifikasi greenship. Adapun salah satu proyeknya perkantoran DBS Bank Tower kami," katanya kepada Bisnis.
CTRA berhasil mendapatkan fasilitas pinjaman hijau pertama dari Bank HSBC pada bulan Oktober 2024 untuk proyek perkantoran Ciputra World 2. Pinjaman tersebut senilai Rp950 miliar untuk jangka waktu selama 7 tahun dan secara khusus ditujukan kepada proyek yang berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan termasuk sertifikasi bangunan hijau yang sudah diraih oleh yaitu sertifikasi EDGE. Adapun proyek perkantoran tersebut dapat menghemat energi sebesar 21%, penghematan air sebesar 43%, kandungan lebih sedikit karbon dalam material sebesar 78%, dan penghempatan karbon dioksida operasional sebesar 818,11 ton karbon dioksida per tahun.
"Pinjaman hijau ini menandai tonggak sejarah dalam perjalanan keberlanjutan Ciputra. Hal ini menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip ESG. Kepatuhan terhadap standar green yang telah diverifikasi oleh pihak ketiga dalam bentuk sertifikasi green building," ucap Aditya.
Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk (DILD) Theresia Rustandi menuturkan perusahaan sangat berkomitmen dalam pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Hal itu terlihat pada 2021 jumlah gedung bersertifikat hijau yang dimiliki Intiland hanya 3 gedung. Namun jumlah tersebut bertambah menjadi 12 gedung hijau saat ini.
"Kami merancang gedung dengan Intiland sustainable guideline yang menjadi pedoman divisi planning dalam merancang sebuah kawasan. Dari pedoman ini, konsultan arsitek yang kami hire ada kelebihan yang ditambah dalam proyek, seperti contohnya gedung South Quarter yang ada di TB Simatupang yang secara desain ramah lingkungan tapi juga punya sertifikat hijau dari GBCI dan EDGE dari International Finance Corporation (IFC)," tuturnya kepada Bisnis.
IFC memproyeksikan permintaan terhadap ruang perkantoran bersertifikat hijau di Indonesia akan mengalami peningkatan karena potensi pasar yang terus tumbuh. Pasalnya, kesadaran terhadap bangunan hijau terus meluas. Selain itu, terdapat banyak keuntungan saat memiliki kantor di bangunan hijau seperti biaya utilitas yang lebih rendah dan partisipasi perusahaan dalam mengurangi jejak karbon
"Kami melihat pencarian terhadap perkantoran bersertifikat hijau relatif meningkat seiring dengan semakin meluasnya kesadaran tenant terhadap komitmen keberlanjutan dan penerapan upaya ESG," ujarnya.
Menurutnya, pembangunan bangunan hijau memerlukan biaya konstruksi yang lebih tinggi karena menggunakan material ramah lingkungan hingga teknologi energi yang efisien. Namun, ekosistem pengembangan bangunan hijau bisa perlahan diwujudkan melalui pembuatan kebijakan publik yang relevan didukung dengan tersedianya insentif sehingga ekspansinya di Indonesia bisa terjadi lebih cepat.
“Terdapat sejumlah faktor dalam penentuan harga sewa ruang kantor antara lain lokasi, apakah lokasinya di CBD atau non-CBD area, fasilitas, serta sertifikat hijau. Adapun saat ini, market position Gedung South Quarter meliputi harga sewa per meter persegi dan green building score, bisa dibilang sebagai salah satu yang terbaik di antara kompetitornya di TB Simatupang Jakarta Selatan,” katanya.
Theresia mengungkapkan untuk saat ini, permintaan terhadap perkantoran bersertifikat hijau mayoritas datang dari perusahaan multinasional yang memasukkan spesifikasi green building sebagai salah satu persyaratan untuk menjalankan operasional mereka. Hal ini tercermin dari beberapa tenant eksisting di South Quarter, gedung perkantoran bersertifikat hijau pengembangan Intiland yang merupakan perusahaan multinasional.
Adapun emiten berkode DILD ini mengembangkan proyek mixed-use and high rise bersertifikasi hijau yaitu South Quarter (SQ) di TB Simatupang, Jakarta Selatan. SQ didesain oleh arsitek Tom Wright dengan fokus kepada sustainability dan energy saving. SQ merupakan kompleks bangunan hijau pertama di TB Simatupang yang tersertifikasi dengan menerima Gold Certificate dari GBCI.
“Tingkat okupansi SQ saat ini kurang lebih sebanyak 95%. Mayoritas tenant merupakan perusahaan multinasional di berbagai bidang, mulai dari perbankan, FMCG, health and medicine, transportasi dan logistik, dan lainnya,” ucap Theresia.
Wakil Direktur Utama PT Intiland Development Utama Gondokusumo menambahkan ESG merupakan sebuah benchmark dalam beberapa tahun terakhir sehingga perusahaan berkomitmen dalam penerapannya di semua proyek Intiland. Menurutnya, adanya sertifikasi hijau yang dimiliki oleh sebuah gedung seperti South Quarter yang memperoleh EDGE dapat mengukur kinerja efisiensi sehingga memberikan benefit tersendiri bagi tenant perkantoran.
Penerapan ESG telah dilakukan sejak dari procurement sebuah proyek dimana perusahaan sangat concern dalam mencari solusi mengefisiensikan waste material bangunan. Adapun material konstruksi bangunan memberikan waste tersendiri sebesar 70%.
"Contohnya proyek Fifty Seven Promenade dimana jika kaca dengan dimensi tertentu datang maka ada waste sekitar 34%, lalu kami kerjasama dengan manufacturing untuk custom dengan dimensi besar dan tentu harga yang lebih mahal namun wastenya hanya tinggal 5%. Cost untuk pembelian kaca dan instalasi ini bisa turun, ini kami coba segala macam, tidak hanya desain, elektrifikasi, tetapi juga procurementnya," katanya.
Kendati demikian, pihaknya tak menampik proyek properti yang mengusung ramah lingkungan dan ESG ini belum terserap dengan baik di pasar. Pengembang pun harus memilih cara menjual atau menyewakan produk properti hijau dengan harga yang sesuai dengan pasar. Utama meyakini produk properti hijau ke depannya akan terserap cepat di pasar karena saat ini konsumen telah peduli dengan kondisi lingkungan.
"Di 2016 kami selesaikan gedung SQ lalu dapat sertifikasi green building, namun tenant-tenant belum banyak yang mau menerima gedung green building itu membayar lebih sewanya. Ketika kami dapat EDGE dari IFC dan green building dari GBCI ini menarik tenant-tenant internasional karena mereka diharuskan oleh head quarter untuk kerja di kantor yang green building, makanya anchor tenant kita City Bank dan Coca Cola masuk maka banyak perusahaan multinasional yang masuk. Jadi produk green ini lebih efisien operasionalnya baik lampu dan AC," ucap Utama.