Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup berkomitmen untuk menindak tegas pelanggaran dalam pengelolaan sampah.
Deputi Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup Rizal Irawan mengatakan terdapat potensi sanksi yang bisa dihadapi oleh pengelola tempat pemroses akhir (TPA) jika tidak melakukan pengelolaan sesuai standar dan melanjutkan praktik open dumping atau pembuangan terbuka.
Pengelola TPA yang melanggar akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 40 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah juncto Pasal 98 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ancaman hukumannya adalah pidana maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar,” ujarnya dilansir Antara, Selasa (21/5/2025).
Pihaknya akan terus melakukan pengawasan berkelanjutan terhadap TPA yang diduga melakukan open dumping. Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah juga akan diterapkan untuk memastikan semua pengelola TPA mematuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang berlaku.
Kementerian Lingkungan Hidup melakukan inspeksi mendadak (sidak) untuk memantau langsung pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah, sebagai bagian dari pengawasan intensif terhadap 306 TPA di seluruh Indonesia selama tahun 2025.
Baca Juga
Fokus pengawasan itu bertujuan menertibkan pengelolaan sampah untuk mencegah bahaya lingkungan serta menghentikan pencemaran dan kerusakan akibat pengelolaan sampah yang tidak memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria.
Langkah ini dilakukan untuk mencegah risiko bahaya, mengatasi pencemaran, dan menghentikan kerusakan lingkungan akibat pengelolaan sampah yang tidak memenuhi standar.
Adapun salah satu sidak yang dilakukan yakni pada ke TPA Sarbagita di Denpasar, Bali. Dalam sidak tersebut, ditemukan sejumlah pelanggaran serius dimana ditemukan Pengelola TPA Sarbagita tidak mengelola lindi atau cairan limbah sampah sesuai prosedur dan adanya saluran yang langsung mengalirkan lindi ke laut tanpa melewati Instalasi Pengolahan Lindi (IPL) sehingga berpotensi mencemari Teluk Benoa.
Hasil pengujian laboratorium terhadap sampel lindi dan air laut menunjukkan tingginya kandungan Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), zat padat tersuspensi (TSS), dan Nitrogen Total, yang melampaui baku mutu berdasarkan Permen LHK No. 59 Tahun 2016.
Selain itu, kerusakan lingkungan juga terlihat dari matinya sekitar 3,8 hektare pohon di kawasan mangrove akibat aliran lindi tercemar berdasarkan analisis fotogrametri dengan drone.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol menuturkan saat ini sebagian besar TPA di Indonesia masih menggunakan sistem open dumping yang menyebabkan pencemaran air tanah, emisi gas metana, dan dampak kesehatan bagi masyarakat sekitar.
Padahal, UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sudah dengan tegas memandatkan agar TPA yang dikelola secara open dumping tidak dioperasikan lagi di Indonesia.
Menurutnya, permasalahan TPA ini sudah terlalu lama berlarut dan dapat menjadi bom waktu jika tidak segera diselesaikan. Penataan TPA dapat dikelola dengan metode lahan urug saniter atau sekurang-kurangnya lahan urug terkendali dan hanya menerima residu saja. Selain itu, pengelolaan sampah juga dapat dilakukan dengan sistem baru yakni sanitary landfill atau controlled landfill untuk menjaga lingkungan.
“TPA bukanlah tempat penimbunan sampah melainkan tempat pemorsesan akhir yang berarti hanya residu-residu saja yang boleh masuk ke TPA,” katanya.
Pelarangan TPA open dumping sebenarnya telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2008, salah satunya pada Pasal 29 ayat (1) huruf f yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir.
“Pasal ini (Pasal 29 ayat (1) huruf f) mengakhiri sistem open dumping di tanah air. Pasal ini yang dimandatkan sejak 2008 dan kemudian wajib dilakukan 5 tahun paling tidak terakhirnya, sampai hari ini di lapangan masih kita dapatkan hampir di seluruh lokasi,”ucapnya.
Kemudian, Pasal 44 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama satu tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 44 ayat (2), pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 tahun terhitung sejak berlakunya UU Pengelolaan Sampah.
Dia menilai, pengelolaan sampah tidak hanya menjadi isu lokal, melainkan juga isu global, yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang belum dapat diselesaikan. Berdasarkan data pada Global Waste Management Outlook 2024, masih terdapat 38% sampah global yang tidak terkelola dengan baik yang berkontribusi pada triple planetary crisis
Jumlah timbulan sampah semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, ditambah dengan budaya masyarakat yang tidak ramah sampah. Angka konversi dari sampah terus meningkat untuk setiap jumlah jiwanya. Saat ini angka konversi tersebut diperkirakan mencapai 1 kilogram sampah per satu jiwa.
Oleh karena itu, jika pengelolaan sampah tidak dilakukan dengan cara yang benar, maka akan timbul permasalahan lingkungan yang diakibatkan dari sampah yang tidak terkelola seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah, permasalahan kesehatan, dan bahkan mengakibatkan permasalahan global meliputi peningkatan gas rumah kaca (GRK) yang sangat signifikan.
“Seperti kita ketahui bersama bahwa gas metana yang dihasilkan dari landfill yang tidak terkelola dengan baik mempunyai daya rusak atmosfer dua puluh delapan kali lebih besar dari karbon dioksida. Oleh karenanya, upaya untuk mengurangi timbulan sampah yang ditimbun di TPA menjadi wajib untuk dilakukan oleh seluruh pemerintah daerah,” tutur Hanif.