Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menghitung Dampak Lingkungan dari Sampah Sisa Makan Bergizi Gratis

Program MBG menghasilkan sisa makanan sekitar 25 gram-50 gram per siswa sehingga berpotensi menambah sampah makanan sebanyak 425 ton hingga 850 ton per hari.
Pekerja menyiapkan menu makanan sebelum didistribusikan ke sekolah, di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Dapur Kebayunan, Depok, Jawa Barat, Senin (6/1/2025). Badan Gizi Nasional (BGN) mengoperasikan 190 SPPG atau dapur untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG). -JIBI/Bisnis/Arief Hermawan
Pekerja menyiapkan menu makanan sebelum didistribusikan ke sekolah, di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Dapur Kebayunan, Depok, Jawa Barat, Senin (6/1/2025). Badan Gizi Nasional (BGN) mengoperasikan 190 SPPG atau dapur untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG). -JIBI/Bisnis/Arief Hermawan

Bisnis.com, JAKARTA — Sampah sisa makanan masih menjadi persoalan di Indonesia. Berdasarkan data sistem informasi pengolahan sampah nasional (SIPSN), dari total 70 juta ton sampah, sebesar 39% atau sekitar 27,3 juta ton sampah sisa makanan.

Juru Kampanye Polusi dan Keadilan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Abdul Ghofar mengatakan jumlah sampah sisa makan diproyeksikan mengalami kenaikan seiring program makan bergizi gratis (MBG).

Menurutnya, program MBG berpotensi meningkatkan timbulan sampah sisa makanan yang merupakan sampah organik. Terlebih, mulai tahun ini, pemerintah menargetkan program MBG pada sekitar 17 juta siswa.

“Meskipun tanpa adanya program MBG potensi sampah sisa makanan organik tetap tinggi karena makan merupakan aktivitas harian, namun dengan proses yang berjalan selama MBG terdapat potensi peningkatan sampah menjadi lebih tinggi karena sisa makanan yang tidak dihabiskan peserta program,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (14/1/2025).

Dari proses yang berjalan, implementasi program MBG menghasilkan sampah sisa makanan sekitar 25 gram hingga 50 gram per siswa sehingga berpotensi menambah sampah makanan sebanyak 425 ton hingga 850 ton per hari.

Peningkatan jumlah sampah yang signifikan dari program MBG juga akan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan diantaranya lepasan emisi gas rumah kaca sebesar 127,5 ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e) hingga 255 ton CO2e per hari.

Jika diakumulasi selama 200 hari sekolah, maka jumlah emisi tahunan dari program MBG dapat mencapai 25.500 ton CO2e hingga 51.000 ton CO2e.

“Kalkulasi proyeksi sampah sisa makanan harian tersebut belum menghitung potensi sampah susut pangan dari proses distribusi bahan makanan dan proses di dapur umum,” kata Ghofar. 

Dia menilai untuk mengantisipasi dampak lingkungan dari sampah program MBG, pemerintah perlu menyusun strategi komprehensif mulai dari penggunaan kemasan makanan yang dapat digunakan kembali, pemenuhan bahan makanan dari daerah terdekat untuk meminimalisir resiko susut pangan hingga pemilihan bahan makanan yang tepat. Hal ini menjadi salah satu bagian dari upaya pencegahan timbulan sampah.

Dalam proses pengolahan sampah, pemerintah dan pelaksana program MBG harus menyiapkan sarana pengelolaan sampah dari sumber seperti tempat sampah terpilah dan alat pengomposan.

Usaha lain bisa dilakukan dengan pelibatan unit usaha budidaya maggot, rumah kompos hingga pemanfaatan teknologi seperti biodigester. Usaha pengolahan sampah dari sumber ini meminimalisir sampah berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

“Kalau skala besar bisa dengan memperbanyak rumah kompos/komposting dalam skala industri. Anaerobik digester juga bisa dan dan usaha lainnya,” ucapnya. 

Menurut Ghofar, pengelolaan sampah makanan di Indonesia masih belum jalan maksimal akibat kondisi sampah yang tercampur karena minimnya pemilahan sampah dari sumber.

Selain ketiadaan pemilahan, pemerintah juga belum banyak mendorong kebijakan pelarangan sampah organik masuk TPA. Padahal, dengan adanya pelarangan sampah organik masuk akan ada usaha-usaha pengolahan sampah organik di sumber maupun di Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R).

“Dampak lain adalah potensi kelebihan kapasitas di TPA yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dalam bentu polusi udara, polusi tanah dan pencemaran air akibat limpasan air lindi dan lepasan gas metan,” tuturnya. 

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menuturkan pihaknya telah berkoordinasi terkait pengelolaan sampah dengan pihak yang menjalankan program MBG dengan sejauh ini mayoritas berupa sampah sisa makanan (food waste).

“Jadi kami akan fasilitasi, kami akan arahkan pengelolaan akhir sampahnya. Memang sampah yang utamanya adalah food waste. Kemarin beberapa lokasi saya belum melihat sampah kemasan, karena tidak digunakan kemasan,” ujarnya dilansir dari Antara. 

Dalam pemantauan yang dilakukannya secara langsung dalam beberapa waktu lalu, sampah sisa makanan yang ditemukan memang tidak berada dalam jumlah banyak. Namun, pihaknya mengantisipasi timbulan sampah yang dapat terjadi jika tidak dikelola dengan baik.

Kementerian Lingkungan Hidup juga sudah melakukan pengawasan ke beberapa wilayah lain di Indonesia dan berencana menjadikan sejumlah titik sebagai lokus untuk percontohan pengelolaan sampah bagi program yang dimulai pada 6 Januari lalu tersebut.

Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan pihak-pihak yang mengimplementasikan program tersebut termasuk Badan Gizi Nasional (BGN) dan juga berkomunikasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) yang tersebar di beberapa daerah untuk memastikan terpenuhinya standar pengelolaan sampah.

“Jadi semua yang kemudian mendapat mandat untuk menjalankan, mengoperasionalkan satuan pelayanan gizi atau makan bergizi gratis itu harus memenuhi kaidah pengelolaan sampah, karena itu semua yang mengeluarkan sampah wajib mengelolanya,” katanya.

Wakil Kepala Staf Kepresidenan M. Qodari menuturkan sisa makanan dari program MBG dapat dimanfaatkan sebagai limbah organik dalam budi daya maggot untuk kebutuhan pakan ikan. Hal ini dalam upaya mengoptimalkan sektor ekonomi dari sisa makanan MBG yang tidak dihabiskan peserta.

Menurutnya, inisiatif sisa makanan MBG menjadi limbah organik dalam budi daya maggot merupakan bagian dari penyempurnaan Program MBG.

“Maggot itu adalah bahan larva yang akan jadi pakan dari ikan dan seterusnya. Jadi food waste-nya pun juga akan dioptimalkan untuk kegiatan ekonomi,” ucapnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper