Bisnis.com, JAKARTA - Sentimen publik terhadap isu lingkungan dan energi terbarukan cenderung netral sepanjang 2024. Hal ini menunjukkan minimnya diskusi organik dan keterlibatan aktif warganet.
Laporan tersebut terangkum dalam Kaleidoskop Isu Energi dan Iklim di Media Digital Tahun 2024 yang dirilis oleh Yayasan Indonesia Cerah.
Laporan ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan tinjauan komprehensif tentang percakapan digital terkait transisi dan krisis iklim sepanjang 2024.
Percakapan isu lingkungan, energi baru terbarukan (EBT) hingga perubahan iklim di media digital ternyata lebih banyak terjadi di ranah media sosial. Percakapan di media sosial terjadi sebanyak 65.307, sementara di pemberitaan media online sebanyak 25.209.
Di media sosial sendiri, percakapan paling banyak terjadi di Platform X sebesar 70 persen, diikuti oleh Facebook 26 persen dan Instagram 4 persen.
Secara keseluruhan, topik mengenai isu lingkungan dan transisi energi bukanlah bahasan yang menciptakan dengungan (buzz) organik dari percakapan warganet. Untuk menciptakan dengungan, beberapa pihak menggunakan jasa pendengung (buzzer) untuk membuat narasi menjadi trending topic.
Sentimen Percakapan
Percakapan soal isu lingkungan dan energi terbarukan di media sosial didominasi oleh sentimen netral. Kondisi ini mencerminkan kurangnya ketertarikan masyarakat terhadap isu-isu lingkungan dan energi terbarukan.
Sentimen positif dalam percakapan mengarah pada komitmen lembaga-lembaga negara yang terus mengkampanyekan inovasi di bidang ini. Di sisi lain, warganet juga mengungkapkan sulitnya mengaplikasikan energi terbarukan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal yang Paling Banyak Dipertanyakan Publik
Yayasan Cerah juga melakukan analisis kata kunci untuk mengetahui intensi apa saja yang dicari publik dalam isu transisi energi dan krisis iklim. Secara umum, warganet tampak paling banyak mencari definisi atau konsep dasar masing-masing topik. Misalnya saja, "apa itu transisi energi?", "penyebab utama krisis iklim?" dan lainnya.
Setidaknya ada 10 kata kunci yang paling dicari, yakni: Energi Terbarukan, Transisi Energi, Krisis Iklim, JETP (Just Energy Transition Partnership), PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu), Nuklir, Carbon Capture Storage, PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) serta Pajak Karbon.
Melihat hasil laporan ini, tampak bahwa gaung percakapan isu lingkungan dan energi terbarukan memang tidak seksi bagi warganet. Ada sejumlah tantangan untuk lebih mendorong riuh percakapan di media sosial.
Pertama, istilah terlalu teknis. Pembuat konten perlu menyederhanakan istilah teknis dan menggunakan analogi yang relevan untuk mempermudah pemahaman warganet.
Kedua, pentingnya edukasi. Pemangku kepentingan perlu mengedukasi warganet terkait topik solusi energi terbarukan yang benar-benar bersih. Intensi percakapan tidak sekadar soal kampanye program pemerintah semata.
Ketiga, kampanye digital. Perlu ada gerakan narasi makro yang berkembang di media digital. Beragam cara dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan KOL (key opinion leader), menggelar sesi tanya jawab dan lainnya.