Bisnis.com, JAKARTA - Sektor swasta turut memberikan dukungan kepada pemerintah terkait pengelolaan plastik yang efektif sehingga bisa membatasi limbah.
Dukungan ini diberikan seiring dengan sektor swasta yang baru-baru ini ikut berkontribusi dalam KTT Polusi Plastik di Busan, Korea Selatan, yakni Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5).
Pembicaraan yang dimulai pada 2022 itu, ditujukan untuk mengatasi pertumbuhan limbah plastik, dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan produksi akan melonjak sekitar 60% menjadi 736 juta ton per tahun pada 2040. Penelitian terkini telah menunjukkan betapa beracunnya bahan-bahan tersebut saat terakumulasi di ekosistem laut dan darat serta dalam tubuh manusia.
Terkait pertemuan itu, Koalisi Bisnis untuk Perjanjian Plastik Global (Business Coalition for a Global Plastics Treaty/BCGPT) mendukung terciptanya instrumen yang mengikat secara internasional (ILBI) dalam mengatasi polusi plastik secara global.
Dalam kaitannya dengan Indonesia, Lucia Karina, Direktur Public Affairs, Communication and Sustainability, Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia) yang juga berpartisipasi dalam INC-5 turut memaparkan dukungan sektor swasta kepada pemerintah dalam pengelolaan plastik yang efektif.
Dia mengatakan, pemerintah juga tengah mendorong agar ada regulasi harmonis untuk pengolahan plastik dari hulu ke hilir. Gayung bersambut, Karina dan BCGPT pun sering bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kemenko Pangan dalam memberikan masukan-masukan.
"Kita bisa menyampaikan interest kami bahwa ok kami setuju adanya pengurangan plastik, pencegahan, tapi kami juga harus memahami apa sebetulnya akar permasalahannya," kata Karina kepada Bisnis, Selasa (17/12/2024).
Menurutnya, material plastik memang tak bisa dihindari. Hal ini makin buruk karena sebagian besar masyarakat dan industri belum bisa mengatur penggunaannya.
Oleh karena itu, dia turut memberikan masukan kepada pemerintah untuk bisa memanfaatkan teknologi terkini demi menciptakan ekosistem yang lebih ramah lingkungan, tetapi tetap bersahabat dengan plastik.
Selain itu, pihaknya juga mendorong terciptanya suatu ekosistem penanganan sampah yang holistik dan komprehensif.
"Jadi tidak melulu menjadi beban dari pengguna produk plastik, tetapi itu dari hulu ke hilirnya dan inklusif melibatkan semuanya mulai dari pemerintah, kemudian NGO, kemudian produsen, retail produsennya ada dua ya produsen pembuat plastik maupun juga produsen yang menggunakan plastik tersebut," jelas Karina.
Secara bersamaan, pihaknya juga terus mengingatkan masyarakat untuk bisa memilah sampah plastik. Di satu sisi, dia juga mendorong pemerintah untuk menciptakan regulasi dan infrastruktur, serta pendanaan untuk penanganan sampah. Pasalnya, di Indonesia tanggung jawab penanganan sampah masih diletakan pada pemerintah daerah (pemda) kabupaten/kota. Hal ini pun membuat biaya pengelolaan sampah minim.
Karina menyebut, anggaran pengelolaan sampah di pemda paling tinggi hanya 4% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Bahkan, masih banyak pemda yang anggaran pengelolaannya sampahnya di bawah 1% dari APBD.
Menurutnya, hal ini terjadi karena pemerintah masih menganggap sampah itu sudah bisa dikelola sendiri oleh masyarakat. Padahal, tidak seperti itu.
Dia mencontohkan, di negara lain penanganan sampang menjadi layanan utama. Dengan begitu, anggaran yang digelontorkan pun cukup tinggi.
"Dan mereka punya spesifik armada ataupun departemen yang betul-betul mengurus hal tersebut. Mulai dari pemilahan pemrosesan berdasarkan jenis sampah, mereka bisa tracking, dan lain sebagainya," kata Karina.
BCGPT Tekankan Pentingnya Kerja Sama Multipihak untuk Atasi Polusi Plastik
Koalisi Bisnis untuk Perjanjian Plastik Global (BCGPT) mendorong keterlibatan semua stakeholder dalam penanganan sampah plastik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Mochammad Ryan Hidayatullah
Editor : Denis Riantiza Meilanova
Konten Premium