Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Negosiasi di Korea Selatan Gagal Capai Kesepakatan Kurangi Limbah Plastik

Negosiasi mengenai limbah plastik di Busan, Korea Selatan gagal mencapai kesepakatan untuk mengurangi produksi dan konsumsi
Negosiasi di Busan, Korea Selatan mengenai limbah plastik gagal mencapai kesepakatan/Bloomberg-Marcelo Perez del Carpio
Negosiasi di Busan, Korea Selatan mengenai limbah plastik gagal mencapai kesepakatan/Bloomberg-Marcelo Perez del Carpio

Bisnis.com, JAKARTA – Sekitar 200 negara gagal mencapai kesepakatan untuk mengadopsi perjanjian global guna mengurangi limbah plastik setelah melalui dua tahun negosiasi yang terpecah.

Konferensi tingkat tinggi (KTT) yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Busan, Korea Selatan, yang berlangsung selama seminggu, berakhir pada Senin pagi (2/12/2024) waktu setempat tanpa adanya kesepakatan yang mengikat secara hukum untuk menangani polusi plastik di seluruh rantai pasoknya. Namun, mayoritas negara menunjukkan dukungan pada isu-isu sensitif seperti pembatasan produksi dan konsumsi serta penghapusan bahan kimia berbahaya.

Bloomberg melaporkan negosiasi tertahan oleh sekelompok kecil negara, terutama produsen minyak seperti Arab Saudi dan Rusia. Negara-negara ini menolak pembatasan baru dengan alasan bahwa pembatasan produksi dan bahan kimia berada di luar mandat kelompok tersebut.

“Kami tidak di sini untuk menyetujui perjanjian yang kurang ambisisus dan gagal memberikan dampak nyata,” kata Direktur Jenderal Otoritas Lingkungan Rwanda, Juliet Kabera, salah satu negosiator utama di Busan, dalam briefing pada Minggu.

“Mayoritas negara menyadari krisis polusi plastik yang parah dan setuju akan perlunya tindakan mendesak,” tambahnya.

Gagalnya kesepakatan menjadi babak terbaru dalam perjuangan untuk mencapai konsensus tindakan global menghadapi perubahan iklim. Bulan lalu, pertemuan COP29 di Baku, Azerbaijan juga dikritik karena menghasilkan kesepakatan yang kurang progresif dalam meningkatkan pendanaan iklim untuk negara berkembang.

Sementara itu, konferensi keanekaragaman hayati PBB pada awal November juga berakhir tanpa kesepakatan tentang dana global baru untuk alam.

Negosiasi yang dimulai pada 2022 ini bertujuan menangani pertumbuhan limbah plastik, yang diperkirakan meningkat sekitar 60% menjadi 736 juta ton per tahun pada 2040, menurut Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Penelitian terbaru menunjukkan toksisitas plastik yang terus terakumulasi di ekosistem laut, darat, dan tubuh manusia.

Mayoritas negara mendorong perjanjian yang mengikat secara hukum untuk mengatur bahan kimia berbahaya, membatasi produksi dan konsumsi plastik, serta menghapuskan produk sekali pakai seperti alat makan plastik.

Perusahaan besar seperti L’Oreal, Starbucks, dan 3M juga mendesak para negosiator untuk mencapai kesepakatan ambisius. Sekitar 275 bisnis mendukung upaya untuk menghapus penggunaan beberapa produk dan bahan kimia plastik.

“Negara-negara harus mengurangi konsumsi plastik, fokus pada produk sekali pakai yang cepat menjadi limbah, dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya fosil,” kata Carsten Wachholz dari Ellen MacArthur Foundation.

Perdebatan dalam negosiasi ini berpusat pada pembatasan produksi dan pemakaian bahan kimia tertentu, atau hanya pada paket pendanaan untuk memperbaiki sistem pengelolaan sampah dan daur ulang.

“Kami melihat langsung dampak buruk limbah plastik lintas batas pada ekosistem laut dan komunitas kami,” kata Sivendra Michael, Sekretaris Tetap Kementerian Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Fiji.

Di Busan, kelompok negara dan bisnis yang mendukung komitmen tegas menghadapi oposisi dari perusahaan minyak dan kimia yang mengirim lebih dari 200 pelobi, melebihi 140 delegasi dari tuan rumah Korea Selatan, menurut Pusat Hukum Lingkungan Internasional. Arab Saudi, Rusia, dan Iran menentang pembatasan yang berpotensi mengurangi pertumbuhan produksi minyak masa depan, dan mengusulkan fokus pada pendanaan daur ulang.

Limbah plastik yang didaur ulang secara global tercatat kurang dari 10%. Di sisi lain, beberapa produsen minyak dan gas berharap peningkatan produksi plastik dapat mengimbangi melemahnya permintaan bahan bakar fosil akibat energi terbarukan dan kendaraan listrik.

Komunitas yang terdampak polusi plastik menyerukan tindakan mendesak untuk mengurangi dampaknya pada kesehatan masyarakat. Mengingat mikroplastik telah ditemukan di plasenta manusia, ASI, jaringan otak, dan darah.

“Kita secara harfiah sedang membesarkan generasi yang sejak lahir sudah terpolusi sebelum mereka mengambil napas pertama,” kata Juan Carlos Monterrey Gomez, perwakilan khusus Panama untuk perubahan iklim.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper