Bisnis.com, JAKARTA – Parlemen Uni Eropa (UE) resmi menyetujui penundaan larangan importasi komoditas pertanian yang terkait alih fungsi lahan hutan atau deforestasi.
Regulasi tersebut mulanya bakal diterapkan pada akhir Desember 2024, tetapi ditunda menjadi 30 Desember 2025 setelah diprotes oleh 20 negara anggota Uni Eropa dan produsen komoditas terdampak seperti Brasil dan Indonesia.
Meskipun usulan Komisi Eropa untuk penundaan disetujui, tetapi proposal untuk revisi aturan tidak disepakati pada Selasa (3/12/2024) waktu setempat.
Proposal revisi tersebut memuat usulan kategori baru "tanpa risiko" yang akan mengurangi pengawasan di beberapa negara, terutama anggota UE sendiri.
Dengan disepakatinya penundaan dan ketiadaan revisi, maka perusahaan besar yang memperdagangkan komoditas pertanian ke kawasan Uni Eropa wajib mematuhi regulasi mulai 30 Desember 2025. Sementara itu, usaha kecil memperoleh tambahan waktu enam bulan untuk adaptasi dalam implementasi.
Melalui regulasi ini, pelaku usaha harus memetakan secara digital rantai pasok komoditas yang mereka impor sampai ke tahap bahan baku di level petani. Eurocommerce yang mewakili peritel UE mengemukakan pemberlakuan regulasi ini bisa mendisrupsi rantai pasok karena kompleksitasnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Komisi Eropa juga berkomitmen untuk mengevaluasi kemungkinan penyederhanaan persyaratan bagi negara dengan praktik pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Selain itu, aturan "rem darurat" akan berlaku jika sistem daring untuk pelaporan perusahaan belum beroperasi penuh atau klasifikasi negara belum diumumkan enam bulan sebelumnya.
Partai Rakyat Eropa menyambut baik regulasi tambahan ini, sementara kelompok Hijau menggambarkannya sebagai "kemenangan parsial yang signifikan" menurut laporan Reuters.
Regulasi yang mulai didiskusikan pada 2022 tersebut bertujuan untuk menghapus deforestasi dari rantai pasok komoditas seperti daging sapi, kedelai, kayu, kakao, minyak kelapa sawit/CPO, kopi, dan karet yang masuk ke pasar UE. Dengan demikian, konsumen di Uni Eropa tidak berkontribusi dalam alih fungsi lahan hutan di Amazon dan Asia Tenggara. Data WWF mengungkap bahwa konsumen Uni Eropa melalui impornya merupakan kontributor deforestasi terbesar kedua di dunia.
Meski dianggap sebagai tonggak dalam memerangi perubahan iklim, negara-negara berkembang seperti Brasil dan Indonesia mengkritik kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme yang dapat mengancam jutaan petani kecil.