Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pensiun PLTU Batu Bara Bisa Tekan Biaya Kesehatan Rp1.900 Triliun

Pemensiunan PLTU batu bara dalam 15 tahun ke depan bisa membawa keuntungan ekonomi dan sosial yang signifikan bagi Indonesia
Truk membawa batu bara di tambang milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA)  di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim , Sumatra Selatan, Rabu (18/10/2023). Bisnis/Abdurachman
Truk membawa batu bara di tambang milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA) di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim , Sumatra Selatan, Rabu (18/10/2023). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Target Presiden Prabowo Subianto untuk memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam 15 tahun ke depan bisa berdampak positif pada beban biaya kesehatan.

Berdasarkan studi Institute for Essential Services Reform (IESR) bertajuk Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia penghentian dini semua PLTU batu bara di jaringan PLN pada 2040  dapat mencegah 182.000 kematian dini karena polusi udara, serta mengurangi beban biaya kesehatan hingga US$130 miliar (sekitar Rp 1.900 triliun).

IESR mencatat terdapat 4,5 GW PLTU yang sudah tua dan tidak efisien yang dapat dipensiunkan segera. Pensiun dini PLTU tersebut dapat mengurangi emisi hingga 28,8 juta ton CO2 per tahun, sekaligus meningkatkan kualitas udara, air dan kesehatan masyarakat.

Meski demikian, Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengemukakan pemensiunan dini memerlukan antisipasi dan persiapan, lantaran biaya yang besar untuk menyediakan listrik pengganti dari sumber terbarukan.

“Beban biaya untuk pensiun dini PLTU, utamanya biaya pensiun aset, penurunan pendapatan pemerintah, serta biaya transisi pekerja diperkirakan mencapai US$4,6 miliar hingga 2030,” kata Deon.

Biaya tersebut dapat meningkat sejalan dengan akselerasi penghentian PLTU hingga mencapai US$27,5 miliar pada rentang waktu 2040-2050. Oleh karena itu, Deon mengatakan dukungan pendanaan internasional menjadi sangat penting untuk memastikan transisi ini berjalan secara adil dan berkelanjutan.

Selain komitmen suntik mati PLTU, Prabowo juga menyampaikan optimismenya untuk mencapai net zero emisson sebelum 2050. Namun, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR Arief Rosadi menilai optimisme tersebut perlu dituangkan pada kebijakan iklim dan energi yang lebih ambisius.

“Aksi dan kebijakan iklim Indonesia saat ini  dikategorikan sangat tidak mencukupi berdasarkan evaluasi Climate Action Tracker. Artinya, upaya untuk meredam pemanasan global yang dilakukan pemerintah masih jauh dari cukup,” kata Arief.

Evaluasi tersebut mengungkap, untuk sejalan dengan pembatasan kenaikan suhu global 1.5 derajat celcius, national determined contribution (NDC) bersyarat harus ditetapkan pada 28 persen dan 51 persen di bawah level 2019 pada 2030 dan lebih ambisius lagi pada 2035.

“Kolaborasi dan bantuan internasional adalah aspek yang sangat penting untuk Indonesia. Selain itu, Indonesia harus mempercepat adopsi energi terbarukan, disertai dengan komitmen eksplisit dan kredibel untuk sepenuhnya menghentikan penggunaan batu bara dan menghentikan deforestasi,” kata Arief.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper