Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto membidik target optimistis bahwa Indonesia dapat mencapai net zero emission atau nol emisi sebelum 2050. Optimisme ini terutama akan didukung dengan penghentian operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam 15 tahun ke depan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyarankan pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret untuk mencapai target tersebut, mengingat biaya besar yang harus disiapkan Indonesia dalam mengompensasi penyesuaian saat transisi.
Berdasarkan analisis IESR, Indonesia perlu mengurangi kapasitas dan pembangkitan listrik dari PLTU batu bara sebesar 11% pada 2030, lebih dari 90% pada 2040, dan menghentikan operasional PLTU seluruhnya pada 2045. Langkah ini juga memungkinkan penetrasi energi terbarukan mencapai 40% dalam bauran energi primer di sektor listrik pada 2030.
Studi IESR berjudul Beyond 443 GW menunjukkan, Indonesia mempunyai total potensi teknis energi terbarukan bertenaga surya, angin, air dan biomassa 7.879,43 GW dan 7.308,8 GWh untuk PHES. Dengan potensi ini, Indonesia dapat mengandalkan sumber daya energi terbarukan untuk bertransisi secara cepat dan berbiaya rendah.
“Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN perlu segera menyelesaikan peta jalan pengakhiran operasi PLTU sebagaimana yang diamanatkan oleh Perpres No. 112/2022 dengan jangka waktu 2040,” kata Direktur Eksektutif IESR Fabby Tumiwa dalam siaran pers, Kamis (21/11/2024).
Dengan demikian, aspek-aspek penting seperti tahapan pengakhiran, skema pendanaan dan pembiayaan, pembangunan kapasitas energi terbarukan dan penyimpan energi, dan persiapan rencana untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi bagi pekerja yang terdampak dapat disiapkan.
Baca Juga
“Kami menyarankan agar segera dibentuk gugus tugas dekarbonisasi kelistrikan yang berisi wakil lintas kementerian dan PLN, dipimpin oleh figur yang tegas dan memahami persoalan dan melapor langsung ke Presiden,” kata Fabby.
Fabby juga mengemukakan bahwa pengakhiran PLTU batu bara juga memerlukan investasi besar-besaran. Biaya jumbo terutama dibutuhkan untuk pembangunan pembangkit energi terbarukan dan penyimpan energi untuk menggantikan listrik yang dibangkitkan PLTU, dan pemenuhan pertumbuhan permintaan listrik.
Investasi yang dibutuhkan setidaknya mencapai US$1,2 triliun hingga 2050 untuk memenuhi kebutuhan energi dengan sumber daya terbarukan, terutama energi surya, pembangunan penyimpan energi dan jaringan transmisi.
Ada pula biaya untuk mengakhiri operasi PLTU secara dini, khususnya IPP yang memiliki kontrak dengan PLN hingga 2056. Pemerintah dapat mencoba skema pembiayaan campuran (blended finance) dan karbon kredit dari proyek yang mendukung transisi energi (transition carbon credit) untuk membiayai pengakhiran operasi dini PLTU.