Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah negara di dunia menghadapi negosiasi yang alot dalam perundingan di Kanada, Selasa (23/4/2024), untuk mempertimbangkan hal apa saja yang perlu dimasukkan dalam perjanjian plastik global.
Menteri Lingkungan Hidup Kanada Steven Guilbeault mengatakan perjanjian tersebut harus menetapkan target dan menghilangkan penggunaan plastik serta bahan kimia sekali pakai yang tidak perlu.
“Kita sekarang perlu mempersempit pilihan, mengidentifikasi di mana terdapat konsensus yang berkembang, dan membuat kemajuan nyata dalam perjanjian tersebut,” ujar Guilbeault, dikutip dari Reuters, Kamis (24/4/2024).
Pemerintah perlu membentuk sebuah perjanjian yang tidak hanya membahas bagaimana plastik dibuang, tetapi juga berapa banyak plastik yang diproduksi, dan bagaimana plastik digunakan.
Dengan demikian, perjanjian tersebut dapat menjadi yang paling signifikan untuk mengatasi emisi pemanasan iklim global sejak Perjanjian Paris 2015.
Berdasarkan laporan minggu lalu dari Lawrence Berkeley National Laboratory, Amerika Serikat, produksi plastik menyumbang sekitar 5% emisi iklim dan dapat tumbuh hingga 20% pada 2050 jika tidak dibatasi.
Baca Juga
Sementara itu, pada 2022 ketika negara-negara sepakat untuk merundingkan perjanjian yang mengikat secara hukum pada akhir tahun 2024, mereka menyerukan untuk mengatasi siklus hidup plastik secara penuh, mulai dari produksi, penggunaan, hingga limbah.
Namun, saat perundingan dimulai, terdapat penolakan keras dari lobi petrokimia dan beberapa negara yang bergantung pada bahan bakar fosil untuk membatasi produksi atau melarang bahan kimia tertentu.
Adapun, ribuan delegasi, termasuk negosiator, pelobi, dan pengamat nirlaba, diperkirakan akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ottawa, Kanada, putaran perundingan keempat menjelang kesepakatan akhir pada Desember 2024.
Perundingan ini menjadikannya salah satu upaya perjanjian tercepat yang dipimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ketua perundingan di Ottawa mengatakan bahwa dia berencana membagi delegasi nasional menjadi tujuh kelompok kerja untuk menangani isu-isu yang belum terselesaikan.
Perundingan tersebut termasuk hal-hal apa yang harus dimasukkan dalam perjanjian dan bagaimana hal itu harus dilaksanakan.
Sementara itu, selama perundingan perjanjian terakhir pada November di Nairobi, 130 negara mendukung kebijakan transparansi terhadap perusahaan mengenai berapa banyak plastik yang diproduksi, dan bahan kimia apa yang digunakan dalam prosesnya.
Melalui produksi plastik yang diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada 2060, para pendukung mengatakan pengungkapan informasi merupakan langkah dasar dalam mengendalikan sampah plastik berbahaya.
Plastik sebagian besar berakhir sebagai sampah yang merusak tata lingkungan, menyumbat saluran air atau tempat pembuangan sampah, sehingga membahayakan kesehatan masyarakat.
Menurut data PBB, plastik yang didaur ulang hanya kurang dari 10%, sedangkan hampir seperlima sampah plastik dunia dibakar, sehingga melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar.
Di sisi lain, sejumlah negara yang bergantung pada bahan bakar fosil menentang pembatasan produksi atau pelarangan bahan kimia tertentu.
Negara-negara yang mencakup Arab Saudi, Rusia, dan China tersebut menganggap perjanjian harus fokus hanya pada pelacakan sampah plastik.
Juru bicara Dewan Asosiasi Kimia Internasional Stewart Harris mengatakan perjanjian ini merupakan langkah untuk mempercepat tindakan yang telah dilakukan industri, seperti meningkatkan daur ulang dan mendesain ulang produk plastik.
Sementara itu, perusahaan minyak Saudi Aramco berencana mengirimkan hampir sepertiga produksi minyaknya ke pabrik petrokimia pada 2030 untuk membuat plastik.
Selain itu, China yang memproduksi sekitar sepertiga plastik dunia mengatakan pihaknya bersedia untuk bekerja sama dalam pengendalian polusi plastik melalui perjanjian.
Ada pula, pada sesi pembukaan perundingan, kelompok Asia Pasifik menyatakan negara-negara harus menerima bantuan keuangan dan teknis untuk infrastruktur pengelolaan limbah, jika terdapat kewajiban baru dalam perjanjian.
Sementara kelompok Afrika menyerukan pembentukan dana multilateral baru untuk membantu negara-negara berkembang dalam memenuhi kebijakan baru.
Hal tersebut didorong pada fakta bahwa benua Afrika telah menjadi target perdagangan ilegal sampah plastik, dan mendesak para perunding untuk memprioritaskan pencegahan serta pengurangan limbah sebelum daur ulang dan pembuangan limbah tidak beracun. (Chatarina Ivanka)