Bisnis.com, JAKARTA – Negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia dinilai sangat keluar jalur dalam berinvestasi di sektor ramah lingkungan untuk mengurangi emisi. Untuk itu dibutuhkan kebijakan dan mekanisme keuangan yang baru untuk menjembatani negara-negara di Asia Tenggara tersebut.
Seperti dikutip dari Reuters, Senin (15/4/2024), Bain & Company dalam riset terbarunya yang disusun bersama GenZero, Standard Chartered Bank dan Temasek menyebutkan, konsumsi energi di wilayah ini diperkirakan tumbuh sebesar 40% pada dekade ini.
Selain itu, emisi karbon dioksida akibat pemanasan iklim masih terus meningkat, dan wilayah ini masih bergantung pada bahan bakar fosil.
Meskipun investasi ramah lingkungan tumbuh sebesar 20% tahun lalu, jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan sebesar US$1,5 triliun pada dekade ini. Semetara itu, emisi di 10 negara di Asia Tenggara dapat melampaui janji mereka pada tahun 2030 sebesar 32% jika mereka terus melanjutkan tren yang ada saat ini.
“Kami percaya bahwa percepatan upaya yang dilakukan oleh negara, perusahaan, dan investor sangat penting karena Asia Tenggara masih berada di luar jalur,” kata Kimberly Tan, Direktur Pelaksana GenZero, seperti dikutip dari Reuters.
Energi ramah lingkungan hanya menyumbang 10% dari total pasokan, dan subsidi bahan bakar fosil lima kali lebih tinggi dibandingkan investasi energi terbarukan. Biaya modal yang tinggi, serta peraturan jaringan listrik dan tarif yang tidak menentu, juga mempersulit pendanaan proyek energi terbarukan.
Baca Juga
Laporan tersebut menyatakan bahwa 60% pembangkit listrik tenaga batu bara di Asia Tenggara relatif baru, yang berarti bahwa pembangkit tersebut masih terikat dengan perjanjian pembelian jangka panjang dan komitmen pengembalian investasi. Alhasil, kondisi itu menjadikan pembangkit tersebut jauh lebih sulit untuk ditutup.
“Ada lebih dari US$1 triliun modal yang belum kembali di pembangkit listrik tenaga batu bara yang masih muda dan hal ini sebagian besar terjadi di Asia,” kata Tim Gould, Kepala Ekonom Energi di International Energy Agency (IEA).
Sementara itu, hanya empat dari 10 negara di kawasan ini yakni Indonesia, Malaysia, Singapura dan Vietnam, yang telah mencapai kemajuan dalam menentukan harga karbon.
Laporan tersebut menyerukan lebih banyak kebijakan dan insentif, kerja sama regional yang lebih besar, dan fokus berkelanjutan pada teknologi yang sudah dapat diterapkan.
“Kabar baiknya adalah Asia Tenggara masih sangat awal dalam perjalanan dekarbonisasi, sehingga mereka mendapat manfaat dari banyaknya upaya untuk mengurangi emisi saat ini,” kata Tan.
Laporan tersebut mengidentifikasi 13 “ide yang dapat diinvestasikan” yang dapat menghasilkan pendapatan sebesar US$150 miliar pada tahun 2030, termasuk pertanian berkelanjutan dan pembangkit listrik energi terbarukan berskala utilitas.
Menurut laporan yang dirilis pada April oleh Dewan Pembangunan Ekonomi Singapura dan konsultan McKinsey Asia Tenggara, Asia Tenggara adalah wilayah dengan kinerja terburuk kedua dalam hal investasi energi terbarukan, setelah Afrika Sub-Sahara.
Laporan tersebut mengatakan instalasi tenaga surya tahunan perlu ditingkatkan dari tingkat saat ini sebesar 5 gigawatt menjadi 35 GW selama periode 2030-2050 jika janji net-zero regional ingin dipenuhi.