Bisnis.com, JAKARTA — Pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dinilai perlu dilakukan deteksi dini memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Terlebih, karhutla menjadi ancaman utama mencapai target FOLU Net Sink 2030.
Peneliti dan Anggota Regional Fire Management Resource Center Southeast Asia (RFMRC-SEA) IPB Univesity Robi Deslia Waldi mengatakan sektor kehutanan memiliki peranan besar untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia dengan pemerintah menargetkan sektor itu mencapai kondisi penyerapan lebih besar dari emisi yang dihasilkan atau net sink -140 juta ton CO2 ekuivalen (CO2e) pada 2030 yang dikenal juga dengan nama FOLU Net Sink 2030. Oleh karena itu, kolaborasi diperlukan mengingat kebakaran hutan masih menjadi salah satu penyumbang emisi yang besar terutama jika terjadi di lahan gambut.
"Maka peran penting semua pemangku kepentingan lainnya, baik di pemerintahan, NGO, pendidikan, masyarakat, generasi muda khususnya, bisa ikut berkampanye terkait menanggulangi, mengendalikan dan mencegah kebakaran hutan dan lahan. Sebab kebakaran hutan ini sangat penting untuk dikendalikan sebagai ancaman utama yang dapat menggagalkan pencapaian FOLU Net Sink 2030," ujarnya dilansir Antara, Kamis (7/8/2025).
Untuk mencapai kondisi penyerapan yang lebih besar dibandingkan emisi di sektor kehutanan pada 2030, maka deteksi dini berbasis AI dan komunitas perlu ditingkatkan. Penggunaan teknologi terus digunakan untuk mencegah dan menangani kebakaran hutan dimulai dari pencitraan jarak jauh untuk memantau titik panas (hotspot) menggunakan satelit sampai dengan pemantauan konsentrasi partikulat 2.5 (PM2.5) untuk melihat kondisi kualitas udara.
"Arah ke depan langkah strategis yang penting untuk menuju FOLU Net Sink untuk generasi muda dan semuanya, yang pertama adalah melakukan deteksi dini berbasis AI dan komunitas," katanya.
Menurutnya, teknologi AI semakin intensif digunakan dalam rangkaian pencegahan kebakaran hutan terutama untuk memprediksi titik panas atau hotspot yang dilakukan berdasarkan analisa berbasis cuaca dan tutupan lahan. Bahkan, indikasi wilayah terbakar juga sudah bisa dilihat di situs peta yang banyak digunakan masyarakat.
Baca Juga
Teknologi AI akan mendukung pencitraan jarak jauh menggunakan satelit yang sudah dilakukan selama ini untuk memantau keberadaan hotspot termasuk menggunakan Landsat, VIIRS dan Sentinl-2.
Namun, di sisi lain kolaborasi berbagai pihak di tingkat tapak tetap diperlukan untuk memastikan pencegahan dan penanganan, termasuk untuk mengonfirmasi akurasi analisa hotspot yang dilakukan berdasarkan AI dan pencitraan jarak jauh.
"Remote sensing ini sangat penting untuk melihat bagaimana BNPB dan BPBD untuk menanggulangi dampaknya terhadap masyarakat. Tidak hanya berbasiskan teknologi saja, masyarakat juga kita ajak, karena semua kembali lagi ke masyarakat bagaimana teknologi itu digunakan oleh masyarakat," ucapnya.
Adapun tren kebakaran hutan dan lahan memperlihatkan penurunan jika dibandingkan puncaknya pada 2015, ketika 2,6 juta hektare areal terbakar di seluruh Indonesia. Sempat naik pada 2019, dengan luas 1,6 juta hektare, jumlah itu terus turun, yaitu 296.942 ha pada 2020, 358.867 hektare pada 2021, 204.894 hektare pada 2022, 1,16 juta hektare pada 2023, dan 376.805 hektare pada 2024.
Sementara untuk tahun ini, data SiPongi milik Kemenhut memperlihatkan indikasi luas kebakaran yang dilaporkan sampai Juni 2025 mencapai 8.594 hektare.