Bisnis.com, JAKARTA — Dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan properti dan kawasan pariwisata di Provinsi Bali sangat masif. Pembangunan yang masif itu untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan baik domestik maupun asing.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada kuartal I tahun 2025 yakni 1.451.445 orang atau mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024 yakni 1.344.541 wisatawan. Adapun sepanjang tahun lalu, kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali sepanjang 2024 mencapai 6.333.360 orang atau meningkat 20,1% dari tahun 2023.
Masifnya perkembangan pariwisata di Pulau Dewata ini membuat terjadinya alih fungsi lahan yang cepat dan permasalahan timbulan sampah.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali Made Krisna Bokis Dinata mengatakan saat ini pembangunan akomodasi pariwisata tentunya berbanding lurus dengan laju alih fungsi lahan.
Alih Fungsi lahan menjadi fenomena yang tidak bisa terbantahkan. Hal ini tentunya amat berpengaruh terhadap keberlangsungan ekosistem serta keadaan Bali terhadap gempuran berbagai pembangunan infrastruktur yang merubah bentang alam dan acapkali bersifat ekstraktif.
Adapun di Kota Denpasar dan daerah Kuta sendiri terjadi alih fungsi lahan untuk permukiman yang masif dari tahun 2000 hingga 2020 dimana diikuti dengan berkurangnya lahan sawah yang awalnya 7.639,92 hektare atau 41,46% luas wilayah di tahun 2000 menjadi 3.305,91 hektare atau 18,02% di tahun 2020.
Baca Juga
“Ini terjadi pengurangan luas sebesar 4.334,01 hektare atau 23,44% hilang dalam kurun waktu 20 tahun,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025).
Menurutnya, pemerintah harus segera mengambil langkah agar dapat mengamankan lahan sawah di Bali. Pembangunan yang sering menyebabkan alih fungsi lahan pertanian maupun lahan persawahan tentu akan mengancam keberlanjutan daya dukung daya tampung dan lingkungan alam Bali.
Hal tersebut tentunya mesti dibarengi dengan upaya-upaya pemulihan lingkungan dan melakukan proteksi terhadap kelestarian lingkungan dengan mekanisme regulasi yang kuat dan ketat baik di pesisir, Hutan dan lahan pertanian serta lahan persawahan yg ada di Bali.
“Banyak lahan pertanian yang kian masif beralih fungsi seperti misalnya di gianyar, jembrana dan kami duga juga terjadi di kabupaten klungkung, tabanan dan daerah lainnya di Bali. Kabupaten Badung masih berada pada posisi tertinggi terkait pembangunan hotel bintang serta jumlah kamar pada hotel non bintang. Data di kabupaten badung menunjukan untuk hotel bintang ada 413 di tahun 2023 dan untuk jumlah kamar hotel non bintang dan akomodasi lainnya sejumlah 31.862 kamar di tahun 2020,” ucapnya.
Selain itu, dia meminta agar dilakukan kolaborasi antara pemerintah dan swasta untuk menyelesaikan permasalahan sampah. Produksi sampah di Bali meningkat seiring bertambahnya usaha jasa pariwisata. Hotel, restoran, dan pusat perbelanjaan terus tumbuh.
Hal ini tidak diikuti dengan manajemen pengelolaan sampah yang baik. Seharusnya sampah sudah mulai ditangani dari hulu, dari tempat dihasilkan. Pemerintah diminta lebih tegas mengingatkan pelaku usaha wisata dan bisnis.
“Persoalan sampah jadi pertaruhan bagi Bali dalam menjaga reputasinya sebagai destinasi pariwisata dunia,” tutur Made.
KOMITMEN KEBERLANJUTAN
CEO Nuanu City Lev Kroll berpendapat pihaknya tak menampik adanya alih fungsi lahan masif di Bali. Hal ini karena Bali menjadi magnet bagi wisatawan asing dan domestik.
Menurutnya, pembangunan pariwisata di Bali harus dilakukan secara berkelanjutan. Dia mencontohkan Nuanu City yang berada di kawasan Nyanyi Tabanan yang merupakan kota kreatif seluas 44 hektare di Kabupaten Tabanan yang menjadi pusat inovasi berkat teknologi ramah lingkungan, praktik keberlanjutan, dan pemberdayaan sosial.
Nuanu telah menjalankan transformasi dari energi berbasis bahan bakar fosil, menjadi energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan. Dengan cara mengadopsi kendaraan listrik (EV) dan sistem panel surya, Nuanu menerapkan penataan kota yang ramah lingkungan dan menjadi panutan bagi kota-kota berbasis inovasi lain di dunia.
“Transformasi ini bukan sekadar pernyataan normatif tentang keberlanjutan, melainkan wujud nyata komitmen Nuanu untuk menciptakan masa depan yang lebih sehat dan hijau,” ujarnya.
Nuanu juga ditargetkan menjadi kota kreatif bertenaga listrik pertama di Bali pada 2027. Untuk mewujudkan hal tersebut, Nuanu telah melakukan sejumlah inisiatif energi terbarukan dengan mengoperasikan 16 bus listrik, 17 mobil golf, serta moped dan sepeda yang mengakomodir kebutuhan transportasi harian bagi lebih dari 2.200 pengunjung di area seluas 44 hektare.
Transformasi ini berhasil menghemat 242 liter bahan bakar per hari atau setara Rp1,11 miliar per tahun, mengurangi polusi suara hingga 10-15 dB, serta menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih sehat.
“Kami tidak hanya berkomitmen menjadikan Nuanu kota kreatif bertenaga listrik pada tahun 2027, tapi juga mendorong lalu lintas sekitar Nuanu pada tahun yang sama. Perjalanan ini adalah usaha bersama, dan kami mengajak mitra strategis untuk bekerja sama dengan kami dalam mengembangkan armada EV kami dan memperluas infrastruktur energi surya,” kata Kroll.
Nuanu juga telah menggunakan panel surya di Odyssey Garden (Kantor Pusat Nuanu) seluas 4.000m2, menghasilkan 52,8 kWh listrik per tahun, dan berhasil mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) hingga 41.000 kilogram. Nuanu akan menambahkan 321 panel surya baru di area workshop, vertical farm, dan zona parkir. Nantinya, pengurangan emisi CO2 akan mencapai 263.000 kilogram per tahun setara dengan menanam 12.141 pohon.
“Kami juga memilih dan mengolah sampah para wisatawan, kami berkomitmen akan pariwistaa berkelanjutan,” ucapnya.
Dengan luas 44 hektar dan dedikasi untuk mengembangkan hanya 30% dari total lahan, Nuanu mewujudkan komitmen untuk kehidupan yang harmonis. Ekosistem terpadu ini memadukan pendidikan, seni & budaya, kesehatan, hiburan, dan kehidupan yang terinspirasi alam, yang menawarkan pengalaman transformatif bagi pengunjung dan penghuninya. Nuanu menjadi rumah bagi komunitas kreator, pemimpin, dan penggerak perubahan yang dinamis.
“Setiap proyek di Nuanu real estat dirancang untuk melayani tujuan yang lebih besar, di luar pengembangan properti. Kami menyusun proyek dan investor yang sejalan dengan nilai-nilai kami dalam keberlanjutan dan penghormatan budaya jangka panjang,” tutur Kroll.
Untuk mendukung praktik keberlanjutan, Nuanu juga menggandeng Oxo Group Indonesia dalam mengembangkan kawasan hunian berkonsep wellness living.
CEO Oxo Group Indonesia Johannes Weissenbaeck mengatakan di atas lahan 1,9 hektare akan dibangun Oxo The Pavilions sebanyak 24 unit viladengan konsep wellness living. Harga tiap unit dibanderol mulai dari Rp8 miliar hingga Rp18 miliar atau sekitar US$550.000 hingga US$1,1 juta dengan luas bangunan antara 170 meter persegi hingga 420 meter persegi.
“Kami optimistis bisa terserap habis pasar dengan nilai Rp300 miliar. Pembangunan akan dimulai pada November 2025 dan ditargetkan selesai pada 2027,” ujarnya.
Menurutnya minat pembeli sangat tinggi baik dari dalam negeri maupun luar. Dia menargetkan bisa mencapai 50% pembeli dari Indonesia, sedangkan 50% berasal dari warga negara asing.
Dia menilai Bali yang telah lama identik dengan kesehatan dan kebugaran, menarik wisatawan dan investor gaya hidup yang mencari keseimbangan, ketenangan, dan kehidupan holistik. Namun, hingga saat ini, konsep hunian yang berfokus pada kebugaran, terutama di segmen premium dengan status hak milik, sebagian besar belum tersentuh di Indonesia.
“Kami meyakini OXO The Pavilions akan menjadi game changer yang menciptakan standar baru dalam industri properti di Bali. Bayangkan sebuah hunian yang membuat Anda merasa lebih baik dan hidup lebih lama. Visi kami adalah mendefinisikan ulang real estat untuk mendukung kesejahteraan Anda sehari-hari,” katanya.
Adapun konsep wellness living dalam proyek OXO The Pavilions bukan sekadar menghadirkan spa, gym, atau fasilitas kebugaran lainnya. Filosofi yang diusung jauh lebih dalam desain arsitektur, teknologi bangunan, dan amenitas yang menunjang hidup sehat sekaligus menenangkan jiwa.
Desain vila ini terinspirasi dari arsitektur rumah tradisional Bali, yang biasanya terdiri dari empat elemen utama, yakni bale (ruang keluarga), sanggah (tempat sembahyang), bale bengong (area berkumpul), dan dapur. Masing-masing ruang punya filosofi tersendiri dan merepresentasikan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
“OXO The Pavilions adalah perwujudan komitmen kami terhadap keberlanjutan. Bukan hanya soal panel surya atau ventilasi silang, tapi tentang menciptakan hunian yang awet, nyaman, dan bisa diwariskan ke generasi berikutnya,” ucapnya.
Dia menegaskan OXO tak sekadar membangun rumah tetapi membangun komunitas yang hidup dengan udara bersih, pengelolaan sampah yang tertata, dan desain yang memikirkan masa depan. Dia berpendapat pembangunan kawasan hunian di Bali harus dilakukan secara berkelanjutan di tengah lahan dan sumber air yang terbatas.
“Kami kelola limbah air yang telah digunakan dan juga sampah kami pilah dan diolah. Keberlanjutan menjadi aspek penting di Bali, ini untuk menjaga kelangsungan alam di Bali. Kami juga menaati aturan tata ruang yang berlaku di Bali,” tuturnya.
Arsitek Internasional Chris Precht menuturkan setiap unit di Oxo The Pavilions akan memiliki layout yang berbeda-beda dan unik sehingga tidak akan sama dengan lainnya. Konsep berbeda yang ditawarkan diyakini jadi daya tarik utam di tengah pasar properti yang sedang lesu.
Menurutnya, proyek ini menuntut kehati-hatian ekstra, tak hanya memenuhi selera pasar global tetapi juga harus selaras dengan budaya lokal dan tetap relevan dalam jangka panjang.
“Kami ingin menciptakan karya yang bukan hanya estetis, tapi juga menghormati budaya Bali dan mampu bertahan mengikuti zaman. Itu butuh pendekatan desain yang bijak dan penuh hormat. Setiap unit akan berbeda meski dari luar mungkin akan tampak sama. Kami juga mengakomodasi keuangan dari konsumen. Ini bakal jadi tantangan bagi tim arsitek kami,” ujarnya.
Dia menegaskan arsitektur harus mengekspresikan tempat dan waktunya dimana untuk Bali dirancang untuk beradaptasi dengan sinar matahari, curah air hujan, ritual budaya, dan alam sekitar.
“Saatnya menciptakan bangunan yang fleksibel dan adaptif yang mencerminkan cara hidup manusia yang sebenarnya,” katanya.
Precht menekankan bahwa setiap material dan bentuk harus mencerminkan identitas Bali, memanfaatkan sumber daya lokal dan palet alam. Selain itu, material bangunan juga menggunakan bahan ramah lingkungan.