Bisnis.com, JAKARTA — Presiden China Xi Jinping berkomitmen untuk melakukan pembatasan yang lebih ketat terhadap emisi gas rumah kaca dalam perundingan iklim global yang berlangsung tanpa AS.
DIlansir Bloomberg, adapun negara China menyumbang sekitar 30% dari total emisi pada 2023. China akan menetapkan sasaran baru untuk pengurangan pada 2035 yang mencakup seluruh lingkup ekonomi termasuk emisi gas rumah kaca. Hal itu dikatakan Xi Jinping dalam pertemuan virtual para pemimpin global yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Brasil.
Menurutnya, mengatasi gas pencemar selain karbon dioksida dianggap penting dalam rencana nasional yang diajukan ke PBB berdasarkan Perjanjian Paris. Polusi non-CO2 (karbon dioksida ekuivalen) menyumbang sekitar 17% emisi di China dimana angka tersebut lebih besar dari total jejak iklim sebagian besar negara.
Pejabat China sebelumnya telah membuat janji serupa untuk memasukan target ekonomi secara menyeluruh dalam rencana pemotongan emisi dan mengatasi gas rumah kaca selain karbon dioksida seperti metana dan nitrogen oksida.
Namun, keputusan Xi untuk menegaskan rencana tersebut di forum tersebut, yang dihadiri oleh kepala negara dan pemimpin pemerintahan mengisyaratkan China tak akan mundur dari ambisinya meskipun ekonominya sedang lesu, dampak tarif, dan kemunduran iklim Amerika Serikat di bawah Presiden AS Donald Trump.
"Negara besar tertentu sangat menyukai unilateralisme dan proteksionisme dan telah menyebabkan dampak serius pada aturan dan ketertiban internasional," ujarnya.
Baca Juga
Xi menilai penting bagi semua negara untuk memperjuangkan supremasi hukum, menghormati komitmen, memprioritaskan pembangunan hijau dan rendah karbon, dan bersama-sama menanggapi krisis iklim melalui tata kelola multilateral.
Untuk diketahui, Kepala negara dan pemimpin pemerintahan termasuk Presiden China Xi Jinping dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengambil bagian dalam pertemuan virtual selama 2 jam. Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk mengembalikan fokus pada aksi iklim dalam konteks global yang semakin menantang. Pertemuan tersebut dirancang untuk membangun momentum dalam perang melawan pemanasan global pada saat negara-negara telah terganggu oleh segala hal mulai dari perang dagang hingga perang nyata di Ukraina dan Gaza.
Perwakilan dari AS tidak hadir dalam panggilan yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva. Di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump, penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia telah menarik diri dari Perjanjian Paris kedua kalinya. Hal ini merupakan kesepakatan penting pada 2015 yang memandu pengurangan emisi untuk memperlambat pemanasan global.
Bahkan sebelum Trump menjabat tahun ini, dunia telah tertinggal dalam pengurangan emisi dan investasi dalam teknologi hijau yang dibutuhkan untuk menghindari pemanasan yang dahsyat pada akhir abad ini.
Dunia melampaui pemanasan 1,5 derajat Celcius setiap tahun untuk pertama kalinya tahun lalu dan akan menghangat sekitar 2,6 derajat Celcius. Hal itu perlu dilakukan target lebih ambisius untuk menjaga pemanasan pada rata-rata jangka panjang 1,5 derajat Celcius yang menjadi target Perjanjian Paris pada satu dekade lalu.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan hingga kini baru 19 negara dari 195 penandatangan Perjanjian Paris sejauh ini yang telah menyampaikan rencana emisi baru, yang dikenal sebagai kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) kepada PBB. Banyak negara yang akan mengajukan NDC pada bulan September, sebelum COP30 di Belem, Brasil.
Menurutnya, dunia tengah menghadapi hambatan besar dan banyak krisis sehingga tidak dapat membiarkan komitmen iklim melenceng.
"Para pembangkang dan kepentingan bahan bakar fosil mungkin mencoba menghalangi tetapi tetapi dunia terus bergerak maju. Rencana iklim baru menawarkan kesempatan unik untuk menjabarkan visi yang berani untuk transisi hijau yang adil selama dekade berikutnya. Rencana tersebut harus selaras dengan 1,5 derajat dan menetapkan target pengurangan emisi yang mencakup semua gas rumah kaca dan seluruh ekonomi," kata Guterres.
Rencana baru tersebut akan menjadi dasar pertemuan puncak COP30, pertemuan iklim tahunan yang akan berlangsung di kota Amazon, Belem di Brasil pada November 2024. Para pemimpin global dan diplomat iklim yang hadir perlu menyusun peta jalan untuk memobilisasi pendanaan iklim sebesar US$1,3 triliun per tahun bagi negara-negara berkembang pada 2035. Sementara itu, negara-negara berkembang akan mengharapkan negara-negara kaya untuk memenuhi janji mereka untuk menggandakan pendanaan adaptasi menjadi setidaknya US$40 miliar per tahun.