Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara Indonesia terbuka untuk berkolaborasi dengan lembaga pendanaan iklim global guna mengakselerasi proyek-proyek transisi energi di Indonesia.
Chief Investment Officer (CIO) Danantara, Pandu Patria Sjahrir menekankan pentingnya sinergi untuk mewujudkan proyek energi terbarukan. Saat ini, Danantara melihat adanya manfaat tidak langsung yang bisa dihasilkan dari keterlibatan lembaga pendanaan iklim.
"Fokus utama, the first one year, saya harus melihat fokus kepada 8 sektor utama. Di mana sektor itu termasuk energi terbarukan," ujar Pandu kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Menurutnya, dalam pandangan Danantara, pendanaan iklim global berperan sebagai akselerator yang krusial untuk mempercepat realisasi proyek-proyek transisi energi.
Bantuan modal ini tidak hanya mempercepat proyek, tetapi juga dapat membantu dalam proses pengadaan dan menyediakan pendanaan yang lebih murah.
Danantara optimistis dapat bekerja sama dengan berbagai dana iklim yang ada untuk menyebarkan dana tersebut ke proyek-proyek yang tepat.
Baca Juga
"Climate Fund pada dasarnya adalah akselerator. Akselerator modal lah, biar proyek ini makin lebih cepat jadi. Saya memberi Anda modal, di saat yang sama saya bisa membantu Anda," ujarnya.
Hanya saja, Pandu menyoroti bahwa isu utamanya bukanlah ketersediaan dana iklim itu sendiri, melainkan bagaimana proyek yang didanai dikerjakan dengan sungguh-sungguh agar menciptakan perubahan yang signifikan dalam transisi energi dan mitigasi perubahan iklim.
“Sekarang tantangan untuk kami adalah bagaimana bisa membantu mencari proyek yang menarik. Dan bagaimana merealisasikan proyek ini secepat mungkin,” katanya.
Kolaborasi Tingkat Asean
Tantangan pendanaan iklim juga bisa digali dengan kolaborasi sesama negara kawasan Asean. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti hasil KTT ke-46 Asean belum memperlihatkan adanya terobosan signifikan untuk memastikan bahwa transisi energi berjalan secara inklusif dan adil bagi seluruh anggota kawasan.
Tidak hanya itu, Asean juga belum secara tegas memanfaatkan momentum ini untuk mendorong transformasi energi yang mampu menempatkan kawasan sebagai pusat manufaktur dan perdagangan teknologi energi terbarukan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebut Asean mempunyai peluang untuk membentuk ASEAN Just Energy Transition Partnership (ASEAN-JETP) untuk membuka pendanaan hingga US$130 miliar per tahun hingga 2030.
ASEAN-JETP ini terinspirasi dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang telah ada di Indonesia (komitmen US$20 miliar pada 2022), Vietnam (US$15,5 miliar pada 2022), dan Afrika Selatan.
“ASEAN-JETP regional dapat berfungsi sebagai mekanisme pembiayaan bersama untuk menggalang pinjaman lunak, hibah, dan modal swasta guna mendukung percepatan pensiun dini PLTU batu bara dan pengembangan energi bersih,” jelas Fabby dalam keterangan tertulis.