Bisnis.com, JAKARTA — PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) atau BSI melaporkan telah menyalurkan pembiayaan hijau senilai Rp14,6 triliun per kuartal I/2025 untuk mendukung proyek prioritas seperti energi terbarukan, transportasi bersih, pengelolaan air dan limbah berkelanjutan, serta produk ramah lingkungan.
Hal ini dikemukakan BSI dalam pertemuan terbatas dengan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau UN Climate Change di Jakarta pada Jumat (25/7/2025). Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Wakil Direktur Utama BSI, Bob T. Ananta, menyampaikan bahwa nilai-nilai syariah yang dipegang BSI sejalan dengan prinsip environmental, social and governance (ESG). Menurutnya, penerapan ESG tidak hanya merupakan bentuk kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga manifestasi dari maqashid syariah yang menempatkan kesejahteraan umat dan kelestarian lingkungan sebagai prioritas utama.
Selama periode tiga bulan pertama 2025, portofolio pembiayaan berkelanjutan BSI telah mencapai Rp72,6 triliun. BSI juga menerbitkan sukuk berkelanjutan (sustainability sukuk) senilai total Rp8 triliun dalam dua tahap sejak 2024 untuk mendukung proyek-proyek berwawasan lingkungan dan sosial.
BSI turut memaparkan pentingnya memanfaatkan momentum bonus demografi yang diproyeksikan berlangsung hingga 2040. Dalam hal ini, ekonomi hijau disebut Bob bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal masa depan tenaga kerja Indonesia.
“Indonesia butuh lebih banyak investasi yang mampu menciptakan lapangan kerja berkualitas dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Green investment mampu menjawab tantangan ganda, yakni mendanai infrastruktur transisi energi dan menyiapkan SDM unggul yang siap mengisi peluang kerja masa depan,” kata Bob sebagaimana dikutip dalam siaran pers, Senin (28/7/2025).
Baca Juga
BSI juga menyoroti tantangan implementasi keuangan berkelanjutan. Pertama, perlunya pengembangan kapasitas yang terkait dengan pengelolaan risiko iklim agar dapat menangkap peluang secara lebih optimal.
Kedua, adanya regulasi dan standar di tingkat internasional, yang harus dikontekstualisasikan agar selaras dengan strategi pembangunan berkelanjutan dan ekonomi rendah karbon Indonesia dan dapat diintegrasikan ke dalam bisnis bank. Ketiga, belum adanya insentif fiskal yang memadai, terutama untuk lembaga keuangan. Namun demikian, BSI memandang tantangan tersebut sebagai peluang untuk memperkuat kolaborasi dengan regulator, pemerintah, dan lembaga internasional secara lebih masif.