Bisnis.com, JAKARTA — Pasar karbon di kawasan Asia Pasifik terpantau lesu sepanjang Maret 2025. Ketidakseimbangan pasokan serta ketidakpastian kebijakan terus menekan harga karbon di kawasan.
Laporan Bloomberg menyebutkan bahwa aktivitas perdagangan karbon sukarela turun tajam selama periode ini. Pasokan unit karbon tercatat anjlok 51% dibandingkan dengan Februari, sementara sisi permintaan melemah 36% daripada bulan sebelumnya.
“Kredit energi murah, terutama dari India dan China, mendominasi penerbitan sertifikat karbon selama Maret,” tulis Bloomberg, dikutip Selasa (22/4/2025).
Dari pasar karbon wajib di Australia, harga Australian Carbon Credit Unit (ACCU) turun 4% menjadi 32,70 dolar Australia (sekitar US$20,61) per ton. Penurunan ini dipicu ketidakpastian kebijakan menjelang pemilu federal awal Mei, khususnya terkait usulan perubahan pada Safeguard Mechanism.
Sementara itu, harga karbon Selandia Baru juga turun menjadi 56,75 dolar Selandia Baru (sekitar US$32,51) per ton CO2. Penurunan terjadi akibat kelebihan pasokan karbon yang terus berlangsung.
“Lelang pemerintah pada Maret tidak menarik satu pun penawar, sehingga memperburuk sentimen pasar,” demikian isi laporan tersebut.
Baca Juga
Penurunan harga juga terpantau di China. Alokasi kredit emisi yang besar untuk sektor baru dalam skema perdagangan emisi menekan permintaan. Hal ini menyebabkan harga turun 4% dari Februari ke level 86,13 yuan per ton atau sekitar US$11,88.
Dari pasar karbon sukarela, India masih menjadi negara dengan penerbitan kredit karbon tertinggi selama Maret 2025. Kawasan Asia Pasifik sendiri berkontribusi sebesar 20% pada pasokan kredit karbon sukarela global, dan 46% dari sisi permintaan.
Perusahaan teknologi asal Singapura, Grab, tercatat sebagai pembeli terbesar kredit karbon di Asia Pasifik pada Maret, dengan volume pembelian 360.000 ton CO2 ekuivalen. Kredit karbon ini dibeli dari proyek penghindaran deforestasi di Indonesia dan Kamboja.
Kelesuan pasar karbon di kawasan juga terlihat di level domestik. Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon, hanya mencatat volume transaksi karbon sebanyak 20.250 ton CO2 ekuivalen sepanjang Maret, jauh turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 397.188 ton CO2 ekuivalen.
Meski turun secara bulanan, data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan kumulatif volume dan nilai perdagangan karbon pada tiga bulan pertama 2025 jauh melampaui capaian sepanjang 2024.
BEI mencatat volume karbon yang diperdagangkan melalui IDXCarbon pada kuartal I/2025 mencapai 690.675 ton CO2 setara karbon. Jumlah itu melebihi jumlah total volume transaksi perdagangan karbon sepanjang 2024 maupun sepanjang 2023.
Sepanjang 2024, IDXCarbon membukukan volume transaksi sebesar 413.764 ton CO2 ekuivalen. Sementara, sepanjang 2023 atau sejak beroperasinya IDXCarbon pada 26 September hingga akhir Desember 2023, volume transaksi perdagangan di bursa karbon mencapai 494.254 ton CO2 ekuivalen.
Nilai perdagangan karbon sepanjang kuartal I/2025 yang menembus Rp27,25 miliar juga lebih tinggi daripada 2024. Sepanjang tahun lalu, nilai transaksi di IDXCarbon mencapai Rp19,72 miliar.