Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memulai proses penutupan sistem pembuangan sampah secara terbuka atau open dumping sebanyak 37 tempat pemrosesan akhir (TPA) pada berbagai titik di Indonesia dan ditargetkan selesai dalam enam bulan.
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan pengelolaan sampah ditargetkan dapat mencapai 100% pada 2029 mengingat isu sampah saat ini menjadi prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Target tersebut ingin dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah yang baru.
Target itu diberikan setelah pemerintah sebelumnya pernah menetapkan target pengelolaan sampah dicapai 100 persen pada 2025 sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Hanif mengakui target tersebut belum dapat dicapai pada tahun ini karena capaian pengelolaan sampah baru mencapai 39,01% berdasarkan data terbaru yang tidak memasukkan data sampah yang masuk ke TPA open dumping.
“Tahun ini kita diberi target 50%, padahal capaian pengelolaan sampah yang sampah kita baru 39%,” ujarnya dilansir Antara, Senin (10/3/2025).
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik KLH, timbulan sampah nasional yang sudah dilaporkan dari 301 kabupaten/kota memperlihatkan total 32,6 juta ton sampah dihasilkan sepanjang 2024. Dari jumlah tersebut 40,34% ampah masih masuk dalam kategori tidak terkelola.
Baca Juga
Adapun untuk dapat mencapai target pengelolaan sampah 100% pada 2029 dilakukan dengan penutupan TPA open dumping. Penutupan 343 TPA akan dilakukan secara bertahap karena jika dilakukan secara mendadak akan menimbulkan dampak sosial. Adapun 343 TPA itu dibagi 286 dikelola oleh kabupaten, 51 oleh pemerintah kota dan 6 regional atau milik provinsi.
“Jadi mungkin ini 37 TPA tahap awal yang akan ditutup setelah analisis mendalam nanti sisanya berikutnya. Tapi dari 343 mungkin ada beberapa yang harus kita hentikan operasional TPA-nya,” katanya.
Pada tahapan awal yang dilakukan adalah sanksi administrasi paksaan pemerintah untuk penutupan praktik open dumping. Setelah itu, pemerintah daerah dan pengelola TPA wajib untuk mempersiapkan langkah penghentian operasional TPA secara open dumping.
“Lalu disusun zona baru sanitary landfill dan pelaksanaan rehabilitasinya. Setelah itu selesai maka dilakukan penghentian yang biasanya waktunya nanti sekitar 3 bulan hingga 6 bulan,” ucapnya.
Menurutnya, penutupan secara bertahap dilakukan untuk membantu daerah menyiapkan sistem dan lokasi baru untuk pengelolaan sampah di wilayahnya. Penutupan TPA open dumping juga memerlukan beberapa mekanisme dari pemerintah daerah dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk pembangunan tempat baru.
Pihaknya tengah mendalami pemberian sanksi yang berat untuk TPA eksisting yang telah mencemari lingkungan. Dia menjelaskan terdapat dua jenis penutupan yaitu penutupan total atau permanen karena menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius dan penumpukan sampah sudah memenuhi kapasitas. Penumpukan TPA sistem open dumping lebih memungkinkan untuk direhabilitasi dan diubah menjadi sanitary landfill.
“Ada 8 lokasi TPA seperti TPA Burangkeng dan Rawa Kuning yang pasti akan ditutup dan pengelolanya akan dikenakan sanksi dan pidana karena telah terjadi pencemaran lingkungan yang cukup serius. Ada ancaman pidana di sana karena sudah menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup serius, sehingga pendekatan hukum wajib dilakukan,” tutur Hanif.
Deputi Penegakan Hukum KLH Rizaldi menuturkan berdasarkan hasil verifikasi lapangan, ditemukan bahwa sejumlah TPA berada dalam kondisi yang tidak sesuai dengan standar lingkungan. Pelanggaran terbanyak ditemukan di Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Dari hasil investigasi ini, pemerintah menetapkan sanksi administratif, yaitu penutupan operasional permanen. Penutupan permanen diterapkan pada TPA yang sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), overcapacity, dan tidak bisa direhabilitasi karena berada di lokasi rawan bencana atau dekat dengan sumber air dan telah memiliki fasilitas pengolahan sampah alternatif.
Selain itu, KLH juga mengambil tindakan penghentian praktik open dumping yang diterapkan pada TPA yang masih memungkinkan untuk direhabilitasi karena telah menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan memiliki lahan cadangan lebih dari 5 hektare untuk perbaikan sistem pengelolaan.
KLH juga menemukan sejumlah TPA yang memiliki pelanggaran berat seperti berada di tepi sungai atau laut tanpa sistem pengelolaan limbah yang memadai. Beberapa di antaranya termasuk TPA di Bekasi, Bogor, Pekalongan, Morowali, dan Batam. Aktivitas TPA tersebut dinilai berisiko tinggi mencemari lingkungan.
“Kami menemukan TPA yang langsung membuang limbah ke sungai tanpa pengolahan. Ini sangat berbahaya bagi ekosistem dan kesehatan masyarakat,” ucapnya.
Selain itu, juga beberapa TPA tidak memiliki dokumen dan persetujuan lingkungan. Hal itu menunjukkan rendahnya kepatuhan daerah dalam mengelola sampah secara bertanggung jawab.
“Masih banyak TPA yang belum siap terapkan sanitary landfill tapi memang tidak ada opsi lain selain menghentikan open dumping secara bertahap. TPA yang masih memungkinkan untuk direhabilitasi akan didorong untuk menggunakan sistem sanitary landfill atau controlled landfill. Sementara yang sudah tidak layak harus ditutup total dan dipindah ke lokasi yang sesuai,” tuturnya.
KLH berharap kepala daerah yang baru dilantik lebih serius dalam menangani persoalan sampah di wilayahnya. Dengan penghentian open dumping ini diharapkan Indonesia dapat menuju sistem pengelolaan sampah yang lebih modern dan ramah lingkungan.