Bisnis.com, JAKARTA – Gas bumi menjadi jembatan penting dalam transisi energi Tanah Air mengingat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan jauh di bawah batu bara dan energi fosil lainnya.
Belum lama ini, Wood Mackenzie merilis laporan tentang peran gas dalam mendukung energi terbarukan dan mengurangi emisi. Analisis Woodmac menunjukkan LNG 60% lebih sedikit menghasilkan gas rumah kaca (GRK) daripada batu bara.
Laporan yang berjudul "The bridge: Natural gas's crucial role as a transitional energy source," menekankan di tengah upaya dunia beralih ke energi terbarukan, gas alam tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi global dan mengurangi emisi dalam jangka menengah.
Wakil Presiden Riset Gas dan LNG Wood Mackenzie, Massimo Di Odoardo mengatakan permintaan gas telah melonjak hingga 80% selama 25 tahun terakhir, kini memenuhi hampir seperempat kebutuhan energi dunia.
"Keberhasilannya [meningkatnya permintaan] terletak pada skala sumber daya global, biaya produksi yang rendah, kemudahan penyimpanan dan pengiriman, serta keunggulan lingkungan yang komparatif," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (21/2/2025).
Ke depan, lonjakan permintaan listrik memang akan semakin banyak dipenuhi dari pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan untuk mengekang emisi CO2. Hanya saja, dengan lonjakan elektrifikasi yang berjalan sangat cepat, ditambah dengan penerapan teknologi rendah karbon, seperti hydrogen, tetap akan sulit mencapai emisi nol bersih pada 2050.
Baca Juga
Apalagi, batu bara yang masih menyumbang 30% dari kebutuhan energi dunia. Di Odoardo menyebut, beralih ke gas sebagai bahan bakar transisi menjadi pilihan yang menarik.
Menurut laporan tersebut, harga LNG yang tinggi sejak 2022 berisiko merusak potensi penuh adopsi gas yang lebih luas di Asia. Harga karbon diperlukan untuk menggeser pasar.
Berkaca dari China dan India, di mana penggunaan gas terutama digunakan untuk pemangkasan puncak emisi, permintaan gas masih diperkirakan akan tumbuh hampir 100 bcm hingga 2050 di sektor listrik. Hal ini menjadi opsi paling praktis untuk memastikan fleksibilitas saat investasi terbarukan melonjak.
“Dengan asumsi harga karbon sekitar US$100/ton, mengurangi ketergantungan China dan India pada batu bara, memang menjadi beban ketergantungan permintaan [gas] yang besar. Namun, mereka bisa melakukan pengurangan lebih dari 300 Mt CO2 pada 2035,” ujarnya.
Emisi Gas Bumi
Tidak perlu diperdebatkan, gas alam atau LNG memang sama-sama menghasilkan GRK yang menimbulkan masalah. Hanya saja, menurut laporan Woodmac, klaim bahwa keterkaitan LNG lebih intensif terhadap GRK daripada batu bara tidak berdasar.
Di Odoardo menjelaskan, berdasarkan analisis Woodmac menunjukkan bahwa, rata-rata, LNG memiliki intensitas GRK sekitar 60% lebih rendah daripada batu bara.
Bahkan ketika mempertimbangkan potensi pemanasan global (GWP) 20 tahun dan membandingkan LNG yang intensif metana dengan batu bara yang dibakar di pabrik yang sangat efisien, LNG masih 26% lebih rendah sumbangan GRK-nya.
Selain itu, dampak lingkungan yang terjadi lebih rendah dari pembakaran gas alam dibandingkan bahan bakar fosil lainnya sudah jelas. Pembakaran gas hanya menghasilkan setengah dari CO2 dari batu bara dan 70% dari minyak.
Mengacu laporan Woodmac, pembakaran gas juga tidak menghasilkan sulfur dioksida (SOx) atau merkuri dan hanya mengeluarkan seperlima dari karbon monoksida dan nitrogen oksida (NOx) yang dihasilkan oleh batu bara.
Sebagian besar dari pengurangan emisi CO2 AS sebesar 12,6% dan pengurangan polusi udara di Beijing sebesar 45% (yaitu, PM2.5 dan NO2) dari kebijakan "langit biru" China selama dekade terakhir berasal dari peralihan dari batu bara ke gas.
“Meskipun demikian, emisi karbon dioksida dan metana-nya perlu ditangani sebagai masalah yang mendesak untuk memastikan keunggulannya sebagai bahan bakar penghubung,” ujarnya.