Bisnis.com, JAKARTA — Studi terbaru lembaga think tank Ember mengungkap bahwa biaya penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive dalam tujuh tahun ke depan dapat menyerap biaya yang lebih tinggi.
Laporan ini menemukan bahwa PLTU baru akan menghadapi banyak tantangan, baik dari sisi finansial maupun regulasi. Di bawah kebijakan yang ada, PLTU baru hanya dapat beroperasi hingga tahun 2050.
PLTU baru juga harus mengurangi emisi hingga 35% dalam waktu 10 tahun dan tidak akan mendapatkan keuntungan dari harga batu bara DMO (domestic market obligation), sehingga memaksa operator untuk membayar harga pasar.
Studi Ember turut menyebutkan bahwa biaya pembangkitan listrik dari PLTU captive yang baru diperkirakan lebih tinggi daripada listrik dari PLN dan dari energi terbarukan. Perkiraan menunjukkan biaya dapat mencapai US$7,71 sen/kWh, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pokok pembangkitan PLN pada 2020 sebesar US$7,05 sen/kWh dan tarif terbaru proyek pembangkit listrik tenaga surya dan bayu yang berkisar antara US$5,5 sampai US$5,8 sen/kWh.
"Perluasan PLTU captive di saat pasar global beralih ke energi bersih merupakan keputusan yang kurang tepat. Indonesia memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan energi terbarukan, sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan," kata kata Analis Senior Iklim dan Energi untuk Indonesia di Ember Dody Setiawan, Kamis (20/2/2025).
Penambahan kapasitas PLTU batu bara sendiri tertuang dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Rencana ini mencakup penambahan 26,8 gigawatt (GW) PLTU baru selama tujuh tahun ke depan, di mana lebih dari 20 GW berasal dari ekspansi PLTU captive atau pembangkit listrik yang khusus didirikan untuk memasok kebutuhan energi industri tertentu.
Baca Juga
Ekspansi ini juga bertentangan dengan target Indonesia untuk menghentikan penggunaan batu bara pada 2040 sebagaimana diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto di G20.
Alih-alih turun, pembangkit listrik tenaga batu bara justru diproyeksikan tumbuh sebesar 62,7%, dan akan mencapai puncaknya pada 2037. Hal ini berisiko membuat Indonesia terjebak pada pembangkit listrik yang mahal dan beremisi tinggi, mengingat energi terbarukan makin kompetitif.