Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemerintah untuk menambah pembangkitan listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) berpotensi membuat target penurunan emisi dan transisi energi meleset, serta mengerek biaya listrik.
Hal ini terungkap dalam analisis terbaru yang dirilis lembaga think tank Ember. RUKN sendiri memuat rencana yang mencakup penambahan 26,8 gigawatt (GW) PLTU baru selama tujuh tahun ke depan, di mana lebih dari 20 GW berasal dari ekspansi PLTU captive atau pembangkit listrik yang khusus didirikan untuk memasok kebutuhan energi industri tertentu.
“Perluasan PLTU captive di saat pasar global beralih ke energi bersih merupakan keputusan yang kurang tepat. Indonesia memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan energi terbarukan, sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan,” kata Analis Senior Iklim dan Energi untuk Indonesia di Ember Dody Setiawan, Kamis (20/2/2025).
Ekspansi ini juga bertentangan dengan target Indonesia untuk menghentikan penggunaan batu bara pada 2040 sebagaimana diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto di G20.
Alih-alih turun, pembangkit listrik tenaga batu bara justru diproyeksikan tumbuh sebesar 62,7%, dan akan mencapai puncaknya pada 2037. Hal ini berisiko membuat Indonesia terjebak pada pembangkit listrik yang mahal dan beremisi tinggi, mengingat energi terbarukan makin kompetitif.
Baca Juga
Analis di Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) Katherine Hasan mengemukakan kurangnya kejelasan mengenai sisa kapasitas daya listrik tambahan dalam perencanaan nasional membahayakan upaya mewujudkan Visi Emas 2045.
“Dengan adanya rencana pertumbuhan yang sebagian besar berpusat di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara, mereka yang tinggal di dekat lokasi industri tempat PLTU akan beroperasi harus menanggung beban kesehatan dan ekonomi tertinggi akibat paparan polusi, belum lagi dampak lingkungan yang tidak dapat dipulihkan dari penyebaran partikel beracun,” papar Katherine.
Laporan ini menemukan bahwa PLTU baru akan menghadapi banyak tantangan, baik dari sisi finansial maupun regulasi. Di bawah kebijakan yang ada, PLTU baru hanya dapat beroperasi hingga 2050. Selain itu, PLTU baru harus mengurangi emisi hingga 35% dalam waktu 10 tahun dan tidak akan mendapatkan keuntungan dari harga batu bara DMO (domestic market obligation), sehingga memaksa operator untuk membayar harga pasar.
Untuk itu, Ember menyebutkan evaluasi ulang rencana ekspansi PLTU captive perlu dilakukan. Selain itu, Indonesia perlu menegakkan peraturan emisi dan percepatan energi terbarukannya, sehingga tetap berada di jalur yang tepat sesuai komitmen iklim. Hal ini juga dapat mengurangi biaya energi jangka panjang, menarik investasi energi bersih, dan meningkatkan keberlanjutan produk hilirisasi.