Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Komitmen ini telah tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan tindak lanjut Perjanjian Paris yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.
Dalam penyampaian NDC disebutkan target penurunan emisi Indonesia hingga tahun 2030 sebesar 29% dari Business as Usual (BAU) dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% dengan bantuan internasional. Penurunan emisi di Indonesia berfokus pada lima sektor yang berkontribusi dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 yaitu sektor energi, industri, kehutanan, pertanian dan limbah.
Kemudian, pemerintah tengah menggodok dokumen kedua NDC atau second NDC (SNDC) sebagai bagian dari upaya menanggulangi perubahan iklim global. Dokumen ini menjadi tonggak penting dalam komitmen Indonesia terhadap isu pemanasan global. SNDC merupakan pembaharuan dari komitmen sebelumnya, yakni enhanced NDC (ENDC). Dalam ENDC ini, pemerintah memasukan sektor kelautan serta menambahkan hydrofluorocarbon (HFC).
Namun demikian, dalam upaya mencapai target NDC pada 2030 dan net zero emission (NZE) di tahun 2060, pemerintah tak memasukkan sektor properti termasuk residensial. Padahal, rumah bagi mayoritas populasi penduduk berada di perkotaan yang memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap emisi karbon.
Massa beton, logam, dan kaca di perkotaan dapat membuat mereka lebih hangat daripada lanskap sekitarnya karena cara mereka menyerap, memancarkan, dan memantulkan panas. Kekurangan air dan polusi udara yang semakin parah mengancam kehidupan di kota yang tak tertahankan.
Berdasarkan laporan Climate Transparency, sektor konstruksi menyumbang 39% dampak emisi karbon terhadap perubahan iklim yang bersumber dari pembakaran bahan bakar untuk pembangunan hingga jaringan listrik dan peralatan rumah tangga. Hal ini membuat pengembang properti dinilai perlu menerapkan perencanaan strategis dalam upaya mengurangi emisi karbon.
Baca Juga
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto mengatakan pihaknya telah memulai untuk berkontribusi dalam menurunkan emisi karbon. Salah satunya membentuk kelompok kerja (pokja) terkait dengan green housing.
“Kami mengkaji dan mencari material ramah lingkungan yang bisa digunakan untuk green housing. Kami juga sempat ke Padang untuk mencari bahan bangunan yang ramah lingkungan,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Kamis (13/2/2025).
Namun demikian, pihaknya tak menampik hingga saat ini belum ada pedoman atau patokan terkait standar green housing termasuk bahan bangunan ramah lingkungan yang digunakan dan besaran biaya yang diperlukan untuk membangun sebuah green housing.
Menurutnya, penerapan green housing saat ini baru dilakukan oleh pengembang besar yang memiliki pendanaan kuat. Hal ini berbeda dengan pengembang kecil yang masih berfokus pada penjualan dan harga rumah yang terjangkau konsumen.
Di sisi lain, untuk mendukung pembangunan perumahan hijau, diperlukan intervensi pemerintah berupa insentif. Pemerintah diharapkan dapat memberikan keringanan pajak berupa pajak penghasilan (PPh) final dan pajak bumi bangunan (PBB) bagi properti yang bersertifikat hijau.
Pemerintah dapat memberikan insentif berupa subsidi teknologi hijau seperti panel surya atau sistem pengelolaan air yang efisien. Lalu juga dapat diberikan kemudahan perizinan bagi proyek properti yang mengadopsi konsep ramah lingkungan.
“Insentif pembiayaan dari lembaga keuangan berbasis ESG juga diperlukan. Perlu ada tingkat bunga KPR yang lebih rendah,” kata Joko.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Ari Tri Priyono menuturkan pembiayaan KPR hijau oleh perbankan masih belum kencang. Hal ini karena masih perbankan besar saja yang menyalurkan pembiayaan KPR hijau dan harus memenuhi syarat sertifikasi. Padahal, pembiayaan KPR hijau sangat penting untuk menarik minat konsumen maupun pengembang produk hunian yang ramah lingkungan.
“Perlu ada insentif perbankan agar konsumen dan pengembang ini tertarik dengan rumah berkonsep hijau. Pengembangan green housing ini belum masif. Harus didorong dari pemerintah dan bank karena biaya konstruksi bangun green housing ini tinggi sekitar 5% hingga 15%,” ucapnya kepada Bisnis.
Adapun untuk rumah yang lebih terjangkau, pengembangan hunian ramah lingkungan saat ini dilakukan dengan menghadirkan ruang terbuka hijau dan pepohonan. Selain itu, desain rumahnya dengan mengadopsi bukaan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup.
“Untuk kalangan menengah ke atas, menghadirkan desain rumah, material bangunan, pengelolaan limbah, dan tata lingkungannya,” terang Ari.
Direktur PT Asatu Realty Asri Yudi Irawan menuturkan untuk membangun rumah subsidi berkonsep hijau dan ramah lingkungan membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi yakni mencapai 10% hingga 15%. Salah satu contohnya, untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan alat elektronik seperti alat pendingin ruangan, developer perlu membangun ceilling lebih tinggi setidaknya menjadi 3,5 meter.
“Pemerintah perlu kaji kembali untuk rumah subsidi green karena biaya konstruksinya mahal, perlu diberikan insentif,” tutur Yudi.
Komite Tetap Riset Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu (BPKPT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Ignesjz Kemalawarta mengatakan jumlah proyek properti baik gedung bertingkat maupun kawasan perumahan di Indonesia baru sebanyak 305 yang telah tersertifikasi bangunan hijau. Jumlah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan negara Singapura yang mencapai 1.000an bangunan properti yang telah tersertifikasi hijau.
“Jumlah untuk kawasan perumahan yang tersertifikasi masih sedikit sekitar 15an pengembang dan itu kebanyakan pengembang besar. Sinar Mas Land, Ciputra Group, Astra, Kota Baru Parahyangan,” katanya kepada Bisnis.
Menurutnya, masih sedikitnya jumlah proyek properti bersertifikat hijau di Indonesia karena kurangnya kesadaran akan pentingnya bangunan ramah lingkungan. Pasalnya, biaya konstruksi untuk membangun bangunan yang hijau dan ramah lingkungan mengalami kenaikan 3% hingga 4%.
“Banyak yang kesadarannya masih kurang, jadi green housing itu akan ada biaya konstruksi tambahan 3% hingga 4% konstruksinya, ini dirasa memberatkan pengembang. Padahal dengan bangunan hijau bisa mengurangi emisi karbon 30%,” ujar Ignesjz.
Untuk rumah subsidi, lanjutnya, pembangunan green housing dapat dilakukan dengan memainkan desain bangunan dengan high ceiling dan bukaan ventilasi yang lebar sehingga mengurangi penggunaan pendingin ruangan. Spesifikasi perumahan subsidi hijau ini harus minim penggunaan energi seperti air dan listrik, memiliki ventilasi yang bagus untuk sirkulasi udara di dalam rumah, pencahayaan yang baik, dan menggunakan material yang ramah lingkungan.
Namun demikian, pihaknya tak menampik membangun rumah subsidi yang hijau dan ramah lingkungan sangat sulit. Hal ini karena harga rumah subsidi telah dipatok oleh pemerintah, sedangkan untuk membangun rumah yang ramah lingkungan mengalami kenaikan biaya konstruksi mencapai 3% hingga 4%.
Ignesjz menilai untuk mendorong jumlah bangunan yang tersertifikasi hijau, pemerintah harus memberikan insentif. Pasalnya, tanpa insentif akan sulit memperbanyak bangunan rumah hijau. Hal ini karena biaya konstruksi bangunan hijau yang dikeluarkan di awal besar mencapai 4%.
“Malaysia, Singapura, Filipina, pemerintah memberikan insentif untuk memperbanyak bangunan bersertifikat hijau. Hanya Indonesia saja yang tidak ada insentif bangunan hijau. Singapura ada insentif pemberian uang, KLB (koefisien luas bangunan), dan lainnya,” ucapnya.
Dengan adanya insentif, maka akan meningkatkan kesadaran akan bangunan bersertifikat hijau. Adapun insentif yang diharapkan dari pemerintah Indonesia bisa berupa uang, KLB, keringanan pajak, dan lain sebagainya.
“Misalnya kalau berupa uang bisa mengkompensasi kenaikan biaya konstruksi bangunan hijau. Lalu insentif pajak, pajak bumi dan bangunan (PBB) bisa diberikan diskon 30% selama 3 tahun untuk bangunan bersertifikat hijau ini lumayan. Insentif bagi penerapan green building dan bangunan dengan lebih dari 50% penggunaan low embodied carbon. Kami terus mendorong agar insentif ini keluar,” terangnya.
Ignesjz menambahkan dengan adanya sertifikasi bangunan hijau, pengembang pun bisa mendapatkan pendanaan hijau dari perbankan maupun lembaga pembiayaan lainnya. Dia mencontohkan salah satu proyek perumahan Sinar Mas Land mendapatkan sertifikasi greenship dari Green Building Council Indonesia (GBCI) meraih pendanaan KPR hijau dari Bank BRI dengan tingkat bunga yang lebih rendah 1% dari KPR konvensional atau non hijau.
Dalam proses mendapatkan sertifikasi hijau di proyek perumahan tersebut dilakukan dalam 2 tahap yakni sertifikasi penilaian dan sertifikasi pengujian emisi karbon dari 5 material utama mulai dari energy saving, low carbon, waste management, water management, dan material bangunan.
Terkait dengan pembiayaan, lanjutnya, belum banyak perbankan yang memberikan KPR hijau dengan tingkat bunga yang lebih rendah dari KPR non hijau. Padahal, untuk mendukung rumah ramah lingkungan dan properti berkelanjutan diperlukan dukungan perbankan dalam pembiayaan hijau.
“Memang dengan sertifikasi hijau bisa mendapatkan pembiayaan hijau seperti green bond, green mortgage, green home buyer. Saat ini paling mudah green home buyer karena syaratnya tidak banyak tapi bisa bermanfaat bagi konsumen, pengembang dan perbankan itu sendiri. Kalau green bond syaratnya banyak tapi yang didapat yang sedikit. Green financing masih omon-omon cukup panjang,” tuturnya.
Ignezh tak menampik konsep hijau dan Environmental, Social, and Governance (ESG) memang mau tak mau harus diterapkan pebisnis baik dalam proses produksi maupun operasional menyusul makin meresahkannya pemanasan global dan perubahan iklim akibat emisi karbon dioksida (CO2) yang berlebihan. Hal ini berfokus dalam upaya mengurangi konsumsi energi agar bisa mereduksi gas rumah kaca ditambah reduksi konsumsi air, pengolahan sampah dan limbah.
“Pengembang tidak bisa hanya berorientasi profit karena profit tidak akan bisa dicapai kalau alamnya sudah rusak, dan sebaliknya. Pebisnis harus berpartisipasi mengurangi kerusakan alam itu,” ujarnya.
Kepala Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu (BPKPT) Kadin Indonesia Budiarsa Sastrawinata berpendapat pembiayaan hijau di sektor properti merupakan salah satu cara untuk mendukung pengembangan properti yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dia berharap ke depan terdapat berbagai platform pembiayaan alternatif yang memungkinkan banyak orang untuk berkontribusi dalam pendanaan proyek yang ramah lingkungan.
“Selain sumber pembiayaan hijau, perlu dicari juga skema khusus yang memang cocok dan bisa diaplikasikan di sektor properti di Indonesia,” katanya.
Menurutnya, pembiayaan hijau di sektor properti memiliki beberapa keunggulan yakni mengurangi dampak lingkungan dari berbagai proyek properti. Selain itu, membantu meningkatkan efisiensi energi, membantu meningkatkan nilai properti dan kualitas lingkungan, dan mengurangi biaya operasional proyek properti.
Dia mencontohkan selain bisa diterapkan pada pengembangan proyek energi baru terbarukan, pembiayaan hijau bisa dilakukan pada pembangunan gedung-gedung dan perumahan hijau.
“Pelaku usaha yang juga sebagai bagian dari komunitas yang punya perhatian khusus pada lingkungan dan keberlanjutan, akan melakukan upaya untuk terus mendorong penerapan ESG,” ucap Budiarsa.
Chief Executive Officer (CEO) Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menilai perlunya pemberian insentif bagi pengembang maupun konsumen sebagai upaya untuk meningkatkan pembiayaan properti hijau yang ramah lingkungan
“Harus ada insentif bagi pengembang maupun konsumen. Skema dengan tax incentive khusus green financing,” terangnya kepada Bisnis.
Saat ini, rumah yang mengusung konsep hijau dan keberlanjutan masih didominasi oleh segmen hunian menengah kea atas. Hal ini karena biaya dalam pembangunan hunian ramah lingkungan dan mengusung keberlanjutan termasuk terkait pengelolaan sampah dan limbah tersebut lebih tinggi 10% hingga 20% dari hunian biasanya.
“Untuk hunian menengah ke bawah memang belum mengusung konsep hijau karena marketnya belum aware, konsumen masih mencari hunian dengan fokus harga yang murah dan cocok pada budget,” tutur Ali.
PEMERINTAH DORONG GREEN HOUSING
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan pembangunan rumah subsidi didorong mengacu pada prinsip green housing ke depannya. Hal ini agar masyarakat dapat memiliki rumah yang layak dan berkualitas.
“Konsep green housing ini juga menjadi keharusan dan masa depan kita semuanya karena dengan beberapa kriteria yang harus dipenuhi, parameter seperti harus dikelola dengan tetap mempersiapkan ruang terbuka,” ujarnya.
Menurutnya, pembangunan rumah yang ramah lingkungan memberikan nilai tambah kenyamanan bagi para penghuninya. Hal ini karena terdapat beberapa parameter yang harus dipenuhi seperti mempersiapkan ruang terbuka agar penggunaan energi bisa semakin efisien. Para penghuni tidak perlu menyalakan lampu karena penerangan ruangan cukup dan penggunaan pendingin ruangan (AC) lebih efisien.
“Kemudian juga agar penggunaan energi semakin efisien tidak perlu setiap saat pasang lampu, karena cahaya matahari bisa langsung dinikmati oleh para penghuni rumah, termasuk efisiensi air, pengelolaan sampah, dan lain sebagainya” katanya.
Dia menilai penyediaan rumah bukan hanya murah bagi masyarakat tetapi memperhatikan pelestarian lingkungan. Pemerintah akan mendorong agar semua pembangunan khususnya di sektor perumahan termasuk program 3 juta rumah per tahun dapat menggunakan konsep yang mengacu pada standar dan kriteria green housing.
“Green konsep, ini penting karena Indonesia harus membangun infrastruktur dengan tetap pelestarian alam dan kita harus sama-sama bertanggung jawab terhadap lingkungan. Dengan demikian, pemerintah dapat meyakinkan masyarakat kita untuk dapat memiliki rumah yang layak, yang berkualitas dalam arti aspek kesehatan, kenyamanan, dan juga keamanan yang terjamin,” ucap Agus.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait mengatakan pihaknya mendorong pembangunan perumahan yang menerapkan bangunan gedung hijau (BGH) untuk mewujudkan emisi bebas karbon (NZE).
Menurutnya, peran sektor properti yang menjadi sangat penting untuk memenuhi tujuan internasional dalam mencapai emisi bebas karbon. Isu pemanasan, pendinginan, pencahayaan bangunan sampai dengan infrastruktur disebut menjadi kontributor utama terwujudnya emisi bebas karbon.
“Saya berusaha melakukan sesuatu yang terbuka mengenai ESG tersebut, yang penting memberikan manfaat untuk negara, rakyat dan dunia usaha. Kita diminta membuat kebijakan yang pro rakyat,” tuturnya.
Dalam hal mendukung NZE, Kementerian PKP menerapkan BGH untuk mengurangi isu lingkungan yang terjadi di Indonesia. Parameter penilaian BGH meliputi pengelolaan tapak, efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air, kualitas udara dalam ruang, material ramah lingkungan, pengelolaan sampah dan pengelolaan limbah.
Direktur Jenderal Kawasan Permukiman Fitrah Nur menambahkan pengembang perumahan bersubsidi diminta untuk membangun hunian dengan sertifikat bangunan hijau. Bagi para pengembang rumah subsidi yang memiliki sertifikat bangunan hijau, pemerintah akan memberikan bantuan prasarana, sarana dan utilitas umum (PSU) dengan porsi yang lebih banyak sepanjang anggaran tersedia.
“Kami sudah anjurkan itu karena rencananya kita akan membuat peraturan bahwa selama rumah subsidi memiliki sertifikat green housing maka mereka bisa mendapatkan bantuan PSU yang lebih dari 50% selama anggaran tersedia seperti yang selama ini dijalankan,” ujar Fitrah.
DUKUNGAN PERBANKAN
Terpisah, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) Nixon LP Napitupulu mengatakan bangunan rumah dan aktivitas di dalamnya menjadi salah satu penghasil emisi karbon terbesar termasuk dari penggunaan energi, konstruksi, hingga perawatan dan pemeliharaan. Untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi generasi mendatang, BTN berinisiatif memacu ketersediaan rumah rendah emisi.
Menurutnya, langkah tersebut juga merupakan wujud komitmen BTN menjawab tantangan perubahan iklim serta mendorong ekosistem perumahan nasional yang berkelanjutan.
“Terkait rumah rendah emisi ini, kami merasa bahwa rumah tangga salah satu penghasil atau pengguna energi terbesar, selain industri ya rumah tangga, rumah itu mengkonsumsi energi kurang lebih 82% dari total emisi yang ada kurang lebih konsumsi listrik buat cahaya, pendingin, pemanas dan alat pemasak. Pemanasan global diciptakan dari rumah tangga. Selain itu, material yang tidak ramah lingkungan kontribusinya 11% terhadap emisi karbon,” katanya.
BTN mengandeng 8 pengembang dan mendukung pembiayaan dalam membangun rumah rendah emisi. Salah satunya, pembangunan 250 unit di klaster Monaco Mutiara Gading City Bekasi yang dibangun oleh ISPI Group dan dijadikan pilot project pada Agustus tahun lalu.
Adapun rumah pilot project tersebut menggunakan dua bahan material ramah lingkungan yakni berupa floor decking yang mengandung 3,6 kilogram sampah plastik dan memakai paving block yang mengandung 2 kilogram sampah plastik per 1 meter persegi.
Sepanjang tahun 2024, BTN membiayai 2.000 rumah rendah emisi yang menggunakan minimal 10% material ramah lingkungan. Di tahun ini, BTN menargetkan dapat membiayai 10.000 rumah rendah emisi. Ditargetkan pada 2029 mendatang, BTN dapat menyalurkan pembiayaan 150.000 rumah rendah emisi dengan porsi 30% penggunaan material ramah lingkungan.
“Ini dilakukan bertahap. Rumah rendah emisi ini ceiling tinggi dan bukaan lebar sehingga bisa menahan panas,” ucapnya.
Menurutnya, jika target 150.000 rumah rendah emisi dapat tercapai pada 2029, maka akan berkontribusi terhadap pengurangan lebih dari 1,7 juta kilogram sampah plastik. Selain itu, emisi karbon juga dapat ditekan sebesar 2,42 ton CO2. Dampak tersebut setara dengan penanaman 110.000 pohon dan 323 hektar penyerapan emisi.
Selain menggunakan bahan bangunan yang ramah lingkungan, BTN juga menggerakkan para pengembang kategori rumah rendah emisi untuk memastikan beberapa standar efisien dalam pemakaian energi, air, pengelolaan sampah, hingga pengurangan polusi.
Untuk efisiensi energi, rumah ramah lingkungan tersebut diwajibkan memiliki banyak ventilasi, plafon tinggi, hingga rasio jendela terhadap tembok mencapai 15% hingga 30%. Standar tersebut ditetapkan agar terdapat sirkulasi udara yang baik.
Selanjutnya, untuk efisiensi air dilakukan melalui penggunaan keran debit kecil, pengolahan sanitasi yang baik, memiliki sumur resapan, hingga penggunaan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Untuk pengolahan sampah, rumah beremisi rendah diwajibkan memiliki bak sampah pilah. menekan polusi, pengembang diminta menanam 1 tanaman penyerap emisi karbon per rumah.
Dalam upaya pengurangan polusi juga dilakukan dengan menggunakan minimal 10% material ramah lingkungan pada dinding dan lantai, hingga memiliki ruang terbuka hijau sebanyak 10% dari total luas kawasan perumahan.
“Kami percaya, hunian layak, sehat dan ramah lingkungan akan meningkatkan kualitas hidup manusia yang tinggal di dalamnya,” terangnya.
Untuk mendorong pengembang properti membangun rumah rendah emisi, dia berencana memberikan insentif berupa bunga konstruksi yang sedikit lebih rendah dari pengembang yang membangun rumah non-ESG. Selain itu, BTN juga akan memberikan insentif bunga promo yang rendah bagi konsumen.
“Ini masih dibahas insentifnya, untuk mendorong rendah emisi sudah saatnya hunian ramah lingkungan dan persoalan sampah diatasi,” tutur Nixon.
Analis Departemen Surveillance dan Kebijakan SJK Terintegrasi Otoritas Jasa Keuangan Budiman Eka menuturkan saat ini kewajiban untuk penyaluran pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR) hijau belum ada. Namun demikian, OJK telah mengeluarkan taksonomi keuangan berkelanjutan Indonesia (TKBI).
TKBI merupakan klasifikasi aktivitas ekonomi untuk mendukung upaya dan tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia yang menyeimbangkan aspek ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial. Hal ini sebagia upaya untuk mengurangi emisi karbon.
“TKBI ini juga ada versi 2-nya. Jadi memang KPR hijau ini tergantung kebijakan masing-masing bank terutama terkait dengan insentif rate yang lebih rendah. Karena insentif ini bukan perkara yang mudah, akan bersinggungan dengan banyak hal,” ujarnya kepada Bisnis.