Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pendanaan Seret, Apindo Sebut Industri Perlu Insentif untuk Dekarbonisasi

Salah satu kendala terbesar bagi pelaku usaha dalam mengadopsi dekarbonisasi adalah pembiayaan yang terbatas
Ilustrasi ekonomi hijau
Ilustrasi ekonomi hijau

Bisnis.com, JAKARTA — Dunia usaha membutuhkan insentif yang lebih komprehensif untuk merealisasikan dekarbonisasi atau emisi nol bersih (net zero emission). Salah satu insentif tersebut mencakup aspek pembiayaan hijau.

Dalam diskusi Bisnis Indonesia Forum, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap bahwa pendanaan menjadi salah satu tantangan terbesar bagi industri untuk mengadopsi aktivitas yang lebih hijau. Setidaknya 45% industri menghadapi keterbatasan dana untuk merealisasikan hal tersebut.

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan keterbatasan pendanaan transisi energi dan dekarbonisasi di dunia usaha tak lepas dari biaya tinggi yang harus disalurkan oleh sektor finansial. Terlebih investasi hijau cenderung memperlihatkan pengembalian (return) yang lama.

“Karena berbicara ekonomi hijau berbicara ekonomi energi hijau dan seterusnya, pasti mereka akan capex-nya tinggi, capital expenditure-nya tinggi,” kata Ajib dalam Bisnis Indonesia Forum bertajuk ‘Transformasi Ekonomi Hijau, Siapkah Kita?’ di Kantor Bisnis Indonesia, Jakarta, Kamis (23/1/2025).

Selain itu, Ajib menyampaikan biaya tinggi dalam investasi hijau dapat mengerek naik harga pokok penjualan (HPP). Hal ini lantas mengurangi daya saing produk dari industri hijau dan lebih jauh membuat perbankan enggan menyalurkan pembiayaan.

“Seharusnya ada sebuah insentif moneter dari pemerintah yang mendorong pembiayaan itu. Misal perbankan diminta secara mandatori memberikan [pembiayaan] pada sektor hijau. Karena kalau tidak mandatori, bank juga tidak mau. Karena perbankan dan industri keuangan adalah sebuah industri yang highly regulated,” ungkapnya.

Untuk itu, menurutnya, sektor perbankan atau pembiayaan memerlukan insentif fiskal dalam bentuk bunga yang lebih rendah untuk penyaluran kredit hijau, baik untuk aktivitas industri dengan emisi karbon rendah, manufaktur, sektor energi hingga usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

“Ketika HPP kami tinggi, kemudian kami disuruh membayar bunga yang sama dengan pembiayaan konvensional, kami tidak akan memiliki daya saing yang maksimal,” jelasnya.

Bukan hanya insentif fiskal dalam bentuk bunga, Ajib juga memandang perlunya disinsentif sebagai penyeimbang laju emisi karbon. Salah satunya adalah penerapan pajak karbon pada sektor-sektor dengan tingkat emisi gas rumah kaca tinggi. Hal ini, menurutnya, bakal mendorong adopsi bisnis hijau yang lebih luas di kalangan dunia usaha.

"Pajak karbon seharusnya diterapkan, tetapi sampai sekarang belum ada aturan teknis. Jika diterapkan akan menjadi dorongan bagi industri untuk mengadopsi energi bersih lebih besar karena bakal ada disinsentif dalam bentuk biaya tambahan, pajak," kata Ajib.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper