Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Balik Arah Kebijakan Iklim Donald Trump, Ancaman bagi Negara Berkembang?

Sebagai negara berekonomi terbesar, perubahan kebijakan iklim Amerika Serikat di bawah Donald Trump menjadi preseden buruk bagi upaya iklim multilateral
Presiden AS Donald Trump berpidato setelah pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan sebagai Presiden ke-47 AS di US Capitol, Washington, Amerika Serikat pada Senin (20/1/2025). / Pool via Reuters-Julia Demaree Nikhinson
Presiden AS Donald Trump berpidato setelah pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan sebagai Presiden ke-47 AS di US Capitol, Washington, Amerika Serikat pada Senin (20/1/2025). / Pool via Reuters-Julia Demaree Nikhinson

Bisnis.com, JAKARTA — Nasib adaptasi iklim dan pengurangan emisi negara berkembang di persimpangan jalan menyusul keputusan Presiden Donald Trump yang menarik keluar Amerika Serikat dari Perjanjian Paris dan menunda dukungan pembiayaan iklim internasional.

Manuver yang diambil Trump tak lama setelah dilantik juga berisiko mengancam komitmen iklim yang dicapai negara-negara maju saat COP29 di Baku, Azerbaijan pada November 2024. Para peserta kala itu menyepakati peningkatan pembiayaan iklim hingga US$300 miliar per tahun pada 2035.

Mantan Presiden Joe Biden memperkenalkan rencana pembiayaan iklim AS empat tahun lalu. Hal itu sekaligus menandai kembalinya pendanaan internasional yang sempat dihentikan atau dikurangi selama periode pertama Trump.

Pemerintahan Biden menyebutkan bahwa AS berkontribusi sekitar US$11 miliar untuk pembiayaan iklim pada 2024. Nilai tersebut termasuk yang terbesar di antara negara lainnya, tetapi pinjaman berbiaya tinggi mendominasi pembiayaan itu, alih-alih dana hibah. 

Angka kontribusi tersebut juga terpaut jauh dari kebutuhan adaptasi iklim negara berkembang yang mencapai US$1 triliun setiap tahunnya. Ketimpangan antara kebutuhan dan komitmen ini lantas menuai kritik, mengingat Amerika Serikat merupakan penghasil emisi karbon terbesar kedua di dunia.

“AS memang bukanlah pemimpin pembiayaan iklim global sejak awal,” kata peneliti ODI Global Laetitia Pettinotti dikutip dari Bloomberg.

Kebijakan pro perubahan iklim selama kepemimpinan Presiden Joe Biden dianulir oleh Donald Trump tak lama setelah ia resmi dilantik.
Kebijakan pro perubahan iklim selama kepemimpinan Presiden Joe Biden dianulir oleh Donald Trump tak lama setelah ia resmi dilantik.

Janji pembiayaan iklim di bawah pemerintahan Biden mencakup US$60 juta selama tiga tahun untuk mendukung infrastruktur iklim di negara berkembang, serta US$50 juta selama lima tahun dari US International Development Finance Corporation, sebuah badan federal.

Namun setelah pelantikannya pada Senin (20/1/2025), Trump menyebut bahwa rencana pembiayaan ini dan komitmen perjanjian iklim lainnya sebagai aksi pengalihan uang pajak rakyat AS ke negara-negara yang tidak membutuhkan.

“Pajak rakyat AS dialihkan ke negara-negara yang tidak pantas menerima bantuan keuangan,” kata Trump.

Kontrasnya kebijakan iklim Trump dibandingkan dengan pendahulunya dinilai bisa berdampak secara global. Amerika Serikat sendiri merupakan salah satu pemegang saham terbesar di sebagian besar bank pembangunan multilateral, termasuk Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Inter-Amerika (Inter American Development Bank/IDB). Kembalinya Trump berisiko membuat organisasi-organisasi ini tidak dapat meningkatkan pengeluaran untuk iklim secepat yang dibutuhkan.

“Pertanyaannya sekarang adalah: siapa yang akan mengambil alih? Jika kita menginginkan komitmen iklim yang kuat, dananya harus tersedia,” kata Bob Ward, direktur di Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment di London School of Economics and Political Science (LSE).

Sekretaris eksekutif badan iklim PBB Simon Stiell ketika berbicara di Forum Ekonomi Dunia (WEF) Davos meyakini peluang pembiayaan iklim bagi negara berkembang tetap tersedia.

“Kita pernah berada di posisi ini sebelumnya,” katanya.

Dia mengemukakan bahwa transisi energi adalah sesuatu yang tidak dapat dihentikan. Tahun lalu, nilai investasi untuk energi bersih mencapai US$2 triliun secara global, dua kali lipat dari nilai investasi di bahan bakar fosil.

Selain itu, penarikan AS memberikan peluang bagi China, Uni Eropa, atau Inggris untuk mengambil peran lebih besar dalam pembiayaan iklim.

Catatan historis memperlihatkan bahwa upaya Trump untuk menghentikan aliran dana iklim dari AS cenderung memiliki keberhasilan yang terbatas.

Meskipun ia berhasil menghentikan aliran dana baru AS ke Green Climate Fund PBB, pendanaan lainnya tetap berjalan melalui jalur yang berbeda. Beberapa bantuan dialirkan melalui program internasional yang tidak secara khusus ditujukan untuk iklim, sehingga sulit dihentikan. Beberapa anggota Partai Republik di Kongres bahkan berupaya mempertahankan penyaluran dana tersebut.

“Ada beberapa pendukung di Kongres yang mungkin akan terus mendukung pembiayaan iklim internasional, setidaknya dalam beberapa bentuk,” kata Jake Schmidt, direktur strategis senior untuk iklim internasional di Natural Resources Defense Council, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di New York.

Skeptisisme Trump terhadap perubahan iklim yang berlanjut memang telah diantisipasi pemerintahan negara lainnya dan entitas pembangunan internasional. Namun Ward dari LSE menyoroti bahwa dampak terburuk dari penarikan diri AS lebih bersifat simbolis.

“Kita menyaksikan bagaimana negara terkaya di dunia berbalik dari negara-negara miskin yang paling terdampak perubahan iklim. Hal ini merusak upaya kerja sama iklim multilateral,” kata Ward.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper