Bisnis.com, JAKARTA - Arah angin Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 belum tertebak. Bagiamana strategi pengembangan proyek pembangkit dalam kerangka penyediaan tenaga listrik nasional ini?
Sebelumnya, RUPTL 2021 - 2030 disusun di tengah ketidakpastian demand yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Saat itu, proyeksi pertumbuhan kebutuhan listrik dalam 10 tahun ke depan dipatok rata-rata sebesar 4,9% per tahun, atau lebih rendah dari RUPTL 2018 - 2028 dengan rata-rata 6,4% per tahun.
Pemerintah mengklaim, bahwa RUPTL 2021 - 2030 merupakan rencana usaha yang paling “green” sepanjang masa. Lalu bagaimana dengan RUPTL 2025 - 2034?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengadakan rapat koordinasi untuk membahas Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, Selasa (14/1/2025).
Melalui akun instagram @smindrawati, Menkeu Sri Mulyani membagikan ulasan singkat rapat koordinasi RUPTL 2025 - 2034.
“RUPTL ini merupakan perencanaan strategis untuk memastikan ketersediaan tenaga listrik agar dapat mendukung kebutuhan listrik nasional. Dalam RUPTL dibahas berbagai aspek seperti skema pemenuhan listrik, peningkatan kualitas, keandalan pasokan, serta pengembangan energi terbarukan dan kebutuhan investasi jangka panjang,” ujar dalam Sri Mulyani dalam takarir unggahan instagram-nya.
View this post on Instagram
Adapun RUPTL selanjutnya proyeksi akan menjelaskan rencana pengembangan pembangkit listrik sebesar 71 gigawatt (GW). Rencana pengembangan yang tidak main-main, mengingat dalam RUPTL hijau, rencana penambahannya pembangkit baru sebesar 40,6 GW.
RUPTL 2021 - 2030 disebut sangat “hijau” karena melibatkan porsi pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 20,9 GW atau 51,6%. Lalu apakah RUPTL 2025 - 2034 bakal lebih hijau?
Merujuk pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir, RUPTL 2025 - 2034 akan dipenuhi proyek hijau. Pasalnya, 70% pembangkit baru bakal datang dari energi hijau.
View this post on Instagram
“Pengembangan pembangkit EBT diperlukan, dan akan dilakukan pemerintah karena mengacu Perjanjian Paris dan target NZE 2060. Tapi proyeknya apa saja yang dipilih, itu keputusan pemerintah,” ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, saat dihubungi Bisnis.
Merujuk RUPTL 2021 - 2030, rencana pengembangan pembangkit listrik paling besar datang dari tenaga hidro, tenaga surya, dan panas bumi. Hingga RUPTL terbaru bakal hadir, pemerintah belum juga memaparkan evaluasi implementasi RUPTL 2021 - 2030.
Yang pasti, investasi di sektor EBT masih belum bergairah. Kementerian ESDM mengungkapkan realisasi investasi subsektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) mencapai US$1,49 miliar atau setara Rp24 triliun (asumsi kurs Rp16.110 per dolar AS) per awal Desember 2024.
Mengacu data Kementerian ESDM, realisasi investasi tersebut masih belum mencapai target yang dipatok tahun ini sebesar US$2,6 miliar. Dengan begitu, belum bisa mendongkrak proporsi EBT dalam bauran energi nasional per Desember 2024 sebesar 14%.
Sementara itu, tambahan pembangkit listrik berbasis EBT mencapai 547,41 megawatt (MW) per Desember 2024. Dengan begitu, total kapasitas pembangkit EBT saat ini mencapai 14.110 MW.
Rencana besar pemerintah menghadirkan pembangkit listrik hijau memerlukan investasi besar. Mengutip pemberitaan sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) setidaknya kebutuhan investasi untuk percepatan pengembangan EBT di sektor ketenagalistrikan mencapai US$235 miliar atau setara dengan Rp3.729 triliun hingga 2040.
Adapun proyek penambahan kapasitas EBT sebesar 33 GW dari hydro (24,9 GW), geothermal (6,5 GW), dan bioenergi (0,9 GW) membutuhkan dana investasi sebesar US$80 miliar dalam 15 tahun ke depan.
“Kalau pembangkit panas bumi, potensinya sudah terekam, tinggal bagaimana geliat eksplorasinya. Sementara kalau PLTA harus dipikirkan juga debit air yang berpotensi menurun seiring perubahan iklim. Sementara kalau proyek PLTS ada hitung-hitungan penyusutan. Pemerintah perlu berhitung,” jelas Komaidi.
Di sisi lain, terkait koordinasi persiapan RUPTL 2025 - 2034, PLN mengaku siap mengikuti arahan pemerintah. dokumen perencanaan strategis untuk mengembangkan dan menyediakan tenaga listrik di Indonesia.
Executive Vice President Komunikasi Korporat & TJSL PLN Gregorius Adi Trianto enggan banyak berkomentar soal koordinasi perencanaan strategis untuk mengembangkan dan menyediakan tenaga listrik di Indonesia tersebut.
“Kami mengikuti keputusan pemerintah,” ujarnya.