Bisnis.com, JAKARTA- Program Lingkungan PBB (UNEP) merilis laporan tahunan ‘Emission Gap Report 2024’, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang diprediksi sulit mengejar target emisi karbon Nationally Determined Contribution alias NDC. Pembangkit listrik batu bara dan aksi deforestasi menghambat laju pencapaian.
Terkait NDC sendiri, Indonesia telah menyusun target yang merupakan wujud komitmen global tersebut setelah menyepakati Kesepakatan Paris. Dalam target NDC yang ditingkatkan versi terbaru, Indonesia akan mengejar penurunan emisi karbon tanpa syarat sebesar 31,89%.
Sementara terdapat target bersyarat yang berupa bantuan dari luar, dengan penurunan emisi karbon sebesar 43,2% dari Bussiness as Usual (BaU). Terdapat target lain yakni pemulihan 2 juta hektar lahan gambut serta rehabilitasi 12 juta hektar lahan terdegradasi.
Sebaliknya, untuk mengejar target tersebut, Indonesia pun telah menyusun berbagai aturan dan rencana aksi. Hal paling menonjol adalah target transisi energi, dengan program pension dini PLTU berbasis batu bara, pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), maupun penggunaan transportasi berbasis listrik.
Hanya saja, berdasarkan laporan tahunan UNEP, Indonesia dianggap masih sukar menggapai berbagai target tersebut, bahkan sulit menggapai netral karbon pada 2060.
Dari jajaran negara-negara G20, Indonesia bersama Argentina, Australia, Brazil, Kanda, bahkan Jepang dinilai tidak dapat memenuhi target yang ditetapkan. Khusus Indonesia, laporan itu mengungkapkan Indonesia masih berada pada kurva negara yang belum menginjak puncak emisi karbon, sehingga akan memakan waktu panjang, serta semakin mendekat tenggat nol emisi.
Negara-negara anggota G20 menyumbang 77 persen emisi GRK global pada 2023. Persoalannya, anggota G20 seperti Brazil dan Indonesia dianggap juga sebagai penyumbang besar emisi CO2 lantaran penggundulan hutan dan perubahan penggunaan lahan.
Indonesia bersama Brazil, dan Kongo menyumbang 55 persen dari total luasan hutan tropis global (berdasarkan pembukuan) pada 2022. Negara-negara ini dituding memiliki kontribusi lebih tinggi dari emisi CO2 lahan dan hutan (Land-used, Land-use Change and Forestry/LULUCF).
Peningkatan karbon LULUCF cenderung mengalami fluktuasi tahunan yang lebih besar dalam emisi GRK karena perubahan penggunaan lahan yang disebabkan oleh kebijakan, penggundulan hutan, kebakaran hutan di lahan yang dikelola, atau pergeseran ke arah perlindungan hutan.
Selain itu, Indonesia juga masih dibebani pembangkit listrik batu bara yang memproduksi emisi karbon. Maka, laporan tersebut pun menyandingkan Indonesia dan Arab Saudi yang dinilai kemungkinan kecil mencapai target NDC.