Bisnis.com, JAKARTA - Hidrogen hijau berpotensi bersaing dengan gas bumi, biodiesel, dan listrik sebagai bahan bakar kendaraan di masa depan. Asa ini bukan target ambisius apabila mempertimbangkan tingginya komitmen negara-negara untuk mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan di tengah keterbatasan sumber energi primer.
Apalagi melihat China yang cukup ekspansif di sektor hidrogen hijau. Melansir Antara, pada 2023 silam, Sinopec Group, telah menyelesaikan pembangunan pabrik hidrogen hijau berkapasitas 20.000 ton per tahun di Xinjiang, China barat laut. Kilang tersebut merupakan proyek produksi hidrogen berbasis fotovoltaik berlevel 10.000 ton pertama di China.
Bicara soal hidrogen hijau di Tanah Air memang tidak semasif biodiesel ataupun pengembangan ekosistem kendaraan listrik. Hanya saja, komitmen pengembangan hidrogen hijau setidaknya sudah digaungkan oleh PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) pada Februari 2024.
PLN meresmikan pilot project Hydrogen Refueling Station (HRS) dan Green Hydrogen Plant (GHP) PLTP Kamojang, Rabu (21/2). Adapun Pertamina, melalui Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) telah melakukan groundbreaking HRS di SPBU Daan Mogot, Jakarta.
SPBU Daan Mogot akan menjadi integrated energy refueling station pertama di Indonesia, yang akan menyediakan tiga jenis bahan bakar dalam satu stasiun pengisian, yaitu BBM, gas, serta hidrogen.
Sayangnya, setelah peresmian tersebut publik tidak lagi disuguhi kabar baik tentang pengembangan hidrogen hijau di Tanah Air. Menguap begitu saja. Padahal, melihat demand hidrogen di dalam negeri cukup fantastis di masa mendatang.
Menurut data Kementerian ESDM, target produksi hidrogen mencapai 9,9 juta ton per tahun (Mtpa) pada 2060, untuk memenuhi kebutuhan sektor industri sebesar 3,9 Mtpa, transportasi 1,1 Mtpa, kelistrikan 4,6 Mtpa, dan jaringan gas rumah tangga 0,28 Mtpa.
Selain untuk mengisi kebutuhan dalam negeri, Indonesia bisa memanfaatkan peluang ekspor hidrogen bersih mengingat secara geografis dekat dengan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, yang memiliki permintaan tinggi akan hidrogen.
Sebelumnya, mengutip data Kemenko Maritim dan Investasi, Indonesia memiliki cadangan gas terbesar kedua di Asia Pasifik dan potensi penyimpanan CO2 terbesar ketiga di kawasan tersebut untuk hidrogen biru. Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi panas bumi terbesar kedua di dunia dan kapasitas tenaga surya lebih dari 200 GW untuk hidrogen hijau.
Tren Hidrogen 2025
Tren penggunaan hidrogen dunia memang sedang panas-dingin. Bahkan, Bloomberg menyebut 2025 menjadi tahun yang dramatis bagi para investor teknologi iklim.
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih akan mengubah lanskap kebijakan perubahan iklim AS. Di luar AS, prospek risiko perang dagang mengacaukan perekonomian. Ujungnya, sektor teknologi iklim yang akan terlebih dahulu dipertaruhkan.
Analis Bloomberg New Energy Finance (BNEF) Payal Kaur menyebut prospek hidrogen hijau dihadapkan dengan tingginya biaya produksi tanpa subsidi ataupun insentif. Adapun BNEF memperkirakan harga hidrogen hijau akan turun dari kisaran saat ini US$3,74 hingga US$11,70 per kilogram menjadi US$1,60 hingga US$5,09 per kilogram pada 2050.
Sebagai perbandingan, bentuk hidrogen yang paling umum digunakan saat ini — yang dipisahkan dari gas alam, dengan emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer — harganya mulai dari $1,11 hingga $2,35 per kilogram.
Di sisi lain, perusahaan analis energi Wood Mackenzie (Woodmac), prospek sektor hidrogen akan meningkat pada 2025, khususnya untuk sektor hidrogen dan amonia rendah karbon yang sukses berkibar pada tahun lalu.
Woodmac baru-baru ini merilis lima hal yang perlu diperhatikan di sektor hidrogen pada 2025. Hal-hal utama yang perlu diperhatikan meliputi kebangkitan hidrogen biru di AS, proyek hijau skala giga yang mencapai keputusan investasi final (FID), peningkatan penggunaan elektroliser China, ketidaksesuaian yang terus-menerus antara FID proyek dan kontrak offtake, serta lonjakan investasi amonia rendah karbon.
“Meskipun ada tantangan, kami mengantisipasi dorongan berkelanjutan untuk proyek hidrogen hijau skala giga. Lebih dari 150 proyek telah diusulkan dengan kapasitas di atas 1GWe, tetapi sebagian besar bersifat jangka panjang atau bahkan tidak mungkin terwujud. Namun, kami memperkirakan setidaknya satu FID skala giga yang diharapkan akan diumumkan pada 2025,” ujar Monica Trilho, analis riset untuk Wood Mackenzie.
Prospek dan Tantangan di Indonesia
Lalu bagaimana prospek dan tantangan pengembangan hidrogen hijau di Tanah Air? Guru Besar Fakultas Teknik Universita Gadjah Mada Deendarlianto telah melakukan penelitian terkait hidrogen hijau yang berkolaborasi dan dibiayai pemerintah serta beberapa pihak dari industri seperti PLN dan Pertamina.
Di proyek kolaborasi ini, fokus utama dari penelitian ini terkait dengan produksi green hydrogen, dimana hidrogen jenis ini merupakan jenis hidrogen yang diproduksi dengan cara yang ramah lingkungan.
Dihubungi Bisnis, Deendarlianto mengaku kajian-kajian pengembangan hidrogen hijau telah banyak dilakukan. Hal ini seiring dengan target pengembangan hidrogen yang cukup fantastis ke depannya.
“Tingginya target demand yang dicanangkan pemerintah mempertimbangkan target NDC 2060, kemudian juga dengan perkembangan demand dari industri jadi pertimbangan pemerintah,” ujarnya.
Hanya saja, untuk membuat geliat pengembangan hidrogen sebagai peluru sakti transisi energi berjalan mulus, pemerintah dihadapkan sejumlah pekerjaan rumah. Deendarlianto mengatakan hal mendasar yang harus dihadirkan pemerintah ialah menyiapkan aturan khusus terkait pengembangan hidrogen.
“Karena terminologi tentang hidrogen belum terlihat. Itu disiapkan dulu. Kemudian baru menyiapkan peta jalan industri yang matang,” tegas Deendarlianto.
Nantinya, dengan adanya pengembangan ekosistem hidrogen, tidak hanya mendukung transisi energi ataupun mengejar target NDc, tetapi juga mendorong penyerapan tenaga kerja.